Posted by Blogger Name. Category:
cerpen Islami
Penulis : Tarissa Azhr
Sebut saja namaku Alissha, aku adalah gadis muslim yang berumur 18
tahun. Aku seorang gadis berdarah campuran, ayahku adalah seorang
Pakistan dan menikah dengan ibuku yang berkewarganegaraan Inggris. Aku
memiliki 1 saudara laki-laki yang masih berumur 12 tahun, dia bernama
Hassir. Selama 17 tahun aku tinggal di kota Leeds di daerah West
Yorkshire, Inggris. Merupakan salah satu wilayah metropolitan dan daerah
terbesar kedua di Inggris menurut luas wilayahnya. Aku adalah seorang
gadis yang baru saja menamatkan pendidikan sekolah menengah atas di
salah satu sekolah terkemuka di kota ini. Prestasiku tergolong baik
bahkan sangat baik secara akademik maupun non-akademik. Aku memenangkan
lomba-lomba ilmiah antar Inggris Raya bahkan aku pernah mengikuti lomba
ilmiah internasional. Karena aku selalu mengutamakan pendidikan dan
mengambil berbagai macam kursus setelah jam sekolah usai, sekarang aku
berhasil mendapatkan beasiswa di University of Istanbul. Namun aku tidak
pernah tahu mengapa sampai di umur 17 tahun ini aku tidak pernah
merasakan kebahagiaan yang penuh. Aku selalu merasa biasa dengan apa
yang telah aku dapatkan, aku selalu merasa bahwa semua prestasi yang aku
dapatkan hanyalah karena kerja keras yang telah aku lakukan. Aku lupa
bahwa aku dibantu oleh-Nya
Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku adalah seorang muslimah dan
pula bukan seorang muallaf. Ayah dan Ibuku mengerjakan kewajiban Islam
dengan baik, begitu juga adikku. Ibuku bahkan rajin mengamalkan
puasa-puasa sunnah dan Ia pun menggunakan kerudung terjulur panjang
dengan sempurna. Berbeda denganku, walau aku seorang muslim aku tidak
menggunakan jilbab, aku jarang bahkan hampir tidak pernah berpuasa
sunnah, sholatku pun masih 1-2 kali sehari. Itu pun kalau disuruh ibuku.
Ibu memang sering menasehati tentang berbagai macam kewajiban sebagai
muslimah dan aku pun tahu persis semua kewajiban itu. Hanya mengetahui
saja.
Sama seperti layaknya remaja pada umumnya, aku suka berpakaian secara
trendi dan juga pergi ke tempat-tempat dimana biasanya remaja kota
Leeds berkumpul dan juga aku bersama dua teman ku Anne dan Karinee
sering menghabiskan waktu malam sabtu kami di La Bottega Milanese, salah
satu café terkenal di kota Leeds. Tak ketinggalan pula dengan cara
berbohong kepada ibu, aku dan temanku cukup sering mengunjungi club
malam di kota ini. Biasanya aku tidak pulang, aku bilang pada ibu bahwa
aku mengerjakan tugas untuk praktek ilmiah sekolahku sehingga aku harus
menginap di rumah Karinee. Sejak memasuki umur 15 tahun aku mulai
mengenal berbagai hal-hal yang harusnya tidak aku lakukan, aku pernah
mer*kok, aku mem-piercing lidahku selama ayah, ibu dan Hassir pergi
mengunjugi sanak saudaraku di London. Satu hal yang harus aku ulangi
sekali lagi, bahwa aku tetap menjadi siswi yang berprestasi di
sekolahku. Sehingga ayah dan ibu tidak terlalu mengetahui kegiatan
liarku. Aku selalu berharap agar cepat menjadi mahasiswi lalu kuliah di
luar negeri dan hidup sendiri, agar aku dapat menjadi bebas sepenuhnya,
karena hal itulah aku sangat bahagia sekali pengajuan beasiswa ku
diterima oleh University of Istanbul.
Akhirnya hari yang sudah aku nantikan datang juga. Aku sudah
mengemasi seluruh barang-barangku serta semua keperluan administrasi
yang aku butuhkan. Ayah dan ibu mengantarku ke Leeds Bradford
International Airport. Seperti orangtua pada umumnya, tentu banyak
sekali nasehat yang ayah dan ibu berikan kepadaku. Walau hidup mandiri
adalah salah satu keinginanku, di sisi lain aku sangat sedih harus
meninggalkan mereka. Ya wajar saja, mereka tetap orangtua yang aku
cintai. Aku ingat sekali pesan ayah di bandara Ia berkata “bawalah
dirimu sebaik mungkin, tanpa terkecuali”. Cukup lama kami melakukan
perpisahan ini, aku lihat ibu menangis begitu juga Hassir. Namun aku
berjanji kepada mereka bahwa setiap setelah 2 semester aku akan
mengunjungi mereka.
Saat ini aku sudah berada di dalam pesawat, aku tidak tahu perjalanan
ini memakan waktu beberapa lama yang pasti sekarang aku sedang
mengingat kenangan-kenanganku di Inggris. Semua kepingan flashback
bermunculan di kepalaku hingga membuatku tertidur. AC pesawat ini
terlalu dingin sehingga selama aku tidur aku mengeluarkan
gerakan-gerakan yang sangat menganggu. Aku mencoba mencari sisi mana
yang mengurangi rasa dingin ini.
Setelah 20 menit kemudian aku merasakan tubuhku menjadi lebih baik,
dingin yang tadi merasuk tulang terasa sangat berkurang. Karena aku
heran apa yang menyelimutiku, aku kemudian membuka mataku dan melihat
dirikku ditutupi oleh kain panjang, tebal berwarna hitam. Tentu saja aku
sangat terkejut, tiba-tiba seorang perempuan berkerudung panjang yang
duduk di sampingku tersenyum. Sepertinya perempuan ini sebaya denganku.
Lalu ia berkata, “aku tadi melihat, sepertinya kamu sangat kedinginan.
Kebetulan aku membawa jubahku, lalu menyelimutimu. Maaf kalau aku tidak
sopan” . Mendengar pernyataan itu pun aku tersenyum seraya mengucapkan
terima kasih padanya, kemudian aku bertanya tentang dirinya dan dari
situ aku ketahui bahwa dia bernama Shamirra yang juga merupakan warga
Inggris, tapi dia berasal dari Manchester. Dia juga seorang calon
mahasiswi baru di universitas yang sama denganku. Mengetahui hal itu,
aku sangat senang sekali karena setidaknya aku sudah mendapat teman di
Turki.
Perjalanan yang melelahkan ini akhirnya berakhir. Aku tiba di
Istanbul AtatÜrk Airport, namun sayangnya aku harus berpisah sementara
dengan Shamirra. Dia dijemput oleh saudaranya yang tinggal di Turki, dan
aku harus naik taksi untuk menuju asrama punya teman ibuku yang bernama
Ibu Aliffah. Aku sangat beruntung ibu mempunyai kenalan disini, karena
aku malas harus repot-repot mencari tempat tinggal di Negara ini. “hmm..
ternyata Turki jauh lebih indah dari yang aku pikirkan” gumamku dalam
hati. Pemandangan di Turki membuat lelahku sedikit hilang. Di kanan kiri
ku penuh dengan berbagai jajanan khas Turki, apalagi Kebab merupakan
makanan yang paling terkenal.
30 menit perjalanan dari bandara menuju asrama Ibu Aliffah, dari luar
asrama ini terlihat sangat manis dengan warna coklat muda dengan ukiran
warna krem serta jendela yang tinggi dengan kusen yang berwarna coklat
dan pohon besar di sebelah kiri bangunannya. “Assalamu’alaikum…” aku
ketuk pintu utama asrama ini. Setelah itu keluarlah seorang perempuan
paruh baya yang menyambutku dengan hangat, dan ternyata Ibu Aliffah.
“selamat datang Alissha, ibu sudah lama menanti kedatanganmu untuk
tinggal disini” sapanya sambil mempersilahkan ku masuk. Sembari ibu
Aliffa memberitahu sedikit tentang peraturan di asrama ini, aku melihat
sekeliling ruang tamunya yang penuh dengan kaligrafi arab. Kemudian ibu
Aliffah mengantarkan aku ke kamar yang bersebelahan dengan musholla
sederhana di asrama itu. Setelah masuk ke dalam kamar aku langsung
merapikan barang-barangku lalu mandi dan kemudian aku tidur.
Jam menunjukkan pukul 3 sore, aku pergi keluar kamar berniat untuk
berjalan-jalan di sekitar asrama. Saat aku memakai sepatu ku, aku
melihat banyak sekali remaja berkerundung panjang sedang duduk di depan
mushalla. Salah satu dari mereka melihatku lalu tersenyum dan tentu saja
aku membalas senyumannya, walaupun aku tahu pasti mereka sangat aneh
karena aku tidak menggunakan kerudung layaknya penghuni asrama lain.
Namun aku tidak sepeduli itu, aku masih belum ingin mengenakannya. Tanpa
memikirkan perempuan tadi, aku pergi menuju gerbang asrama dan disitu
aku sangat tak menyangka bahwa bisa bertemu Shamirra! “hei sham, aku
tidak tahu kau disini juga..” sapaku tanpa mengucapkan salam
“assalamu’alaikum Alissha, iya aku kesini karena Ibu Aliffah memang
membuka majelis untuk remaja di mushalla asrama ini.. kau mau kemana
Alissha?” Tanya shamirra dengan wajah bingung. “oh aku hanya mau
berkeliling sebentar, sekalian membeli makanan..” jawabku singkat lalu
meninggalkan Shamirra.
Keesokkan harinya aku bersiap untuk pergi ke universitasku, aku
diarahkan oleh Ibu Aliffah untuk menggunakan transportasi umum di kota
ini. Sesampainya di kampus, aku bertemu dengan teman-teman baruku dan
ternyata aku satu kelas dengan Shamirra. Kegiatan di universitas ini
terdapat 12 kampus. Antara lain adalah, Beyazit, Vefa, Bakirkoy,
Laneli-Vezneciler, dan lain-lain. Aku dan Shamirra terdapat di kampus
Beyazit yang meliputi Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Ilmu
Politik. Aku mengambil fakultas hukum, karena aku sangat tertarik di
bidang ini.
1 tahun kemudian…
Tanpa terasa aku sudah cukup lama ada kota ini, semuanya sejauh ini berjalan dengan baik. Prestasiku 2 semester ini cukup memuaskan. Semuanya terlihat baik. Persahabatan ku dengan Shamirra pun tetap berlanjut sampai sekarang. Kami sudah banyak mengetahui tentang diri kami masing-masing. Setelah jam kuliah selesai, Shamirra memintaku menemaninya ke masjid paling terkenal di Turki yaitu, Masjid Biru. Dilihat dari luar, masjid ini memang tidak berwarna biru. Biru adalah warna interior masjid tersebut. Aku tercengang melihat keindahan masjid ini, masuk ke dalam kompleks kita akan melewati taman bunga yang dilindungi pepohonan yang rindang serta tempat wudhu yang berderet panjang menyambut kita memasuki masjid ini. Masuk masjid ini diwajibkan untuk menutup aurat, lalu Shamirra meminjamkan kerudungnya kepadaku dan aku mengikutinya masuk. Saat itu adalah waktu Ashar. Aku beralasan halangan untuk shalat kepada Shamirra, aku menunggu Shamirra di kursi taman bunga tepat di bawah pepohonan rindang di sudut masjid ini. Suasana sore itu terlalu indah, langit terlihat orange dan burung dara penuh beterbangan di atas kubah masjid ini semilir angin meniup kerudungku dengan lembut. Tiba-tiba aku mendengar suara laki-laki yang sedang mengaji. Suaranya indah, walau aku tidak mengerti tajwid aku yakin sekali dia membacanya dengan sempurna. Alunan al-Quran tersebut, seakan membawa ku melayang ke tempat yang indah tanpa sadar aku menitikkan air mata. Aku mencoba mencari sumber suara yang ternyata 6 meter dariku. Dia berwajah khas Turki, hidung mancung dengan mata coklat dan berkulit putih. Setelah aku lihat-lihat ternyata aku pernah melihat dia sebelumnya, dia satu fakultas denganku hanya beda kelas, kalau tidak salah dia bernama Fatih. “Sial! dia mendapatiku sedang melihatnya mengaji”. Dia tersenyum simpul, lalu kembali mengaji. Lalu membuatku kembali terhanyut dalam ayat-ayat suci itu. “Alissha.. maaf membuatmu lama menunggu ayo kita pulang!”, suara Shamirra memecahkan keheningan lalu aku cepat-cepat menyapu air mataku. “Sham, bagaimana kalau kita jalan-jalan sekitar masjid ini?” ajakku. Shamirra mengangguk sambil tersenyum.
Tanpa terasa aku sudah cukup lama ada kota ini, semuanya sejauh ini berjalan dengan baik. Prestasiku 2 semester ini cukup memuaskan. Semuanya terlihat baik. Persahabatan ku dengan Shamirra pun tetap berlanjut sampai sekarang. Kami sudah banyak mengetahui tentang diri kami masing-masing. Setelah jam kuliah selesai, Shamirra memintaku menemaninya ke masjid paling terkenal di Turki yaitu, Masjid Biru. Dilihat dari luar, masjid ini memang tidak berwarna biru. Biru adalah warna interior masjid tersebut. Aku tercengang melihat keindahan masjid ini, masuk ke dalam kompleks kita akan melewati taman bunga yang dilindungi pepohonan yang rindang serta tempat wudhu yang berderet panjang menyambut kita memasuki masjid ini. Masuk masjid ini diwajibkan untuk menutup aurat, lalu Shamirra meminjamkan kerudungnya kepadaku dan aku mengikutinya masuk. Saat itu adalah waktu Ashar. Aku beralasan halangan untuk shalat kepada Shamirra, aku menunggu Shamirra di kursi taman bunga tepat di bawah pepohonan rindang di sudut masjid ini. Suasana sore itu terlalu indah, langit terlihat orange dan burung dara penuh beterbangan di atas kubah masjid ini semilir angin meniup kerudungku dengan lembut. Tiba-tiba aku mendengar suara laki-laki yang sedang mengaji. Suaranya indah, walau aku tidak mengerti tajwid aku yakin sekali dia membacanya dengan sempurna. Alunan al-Quran tersebut, seakan membawa ku melayang ke tempat yang indah tanpa sadar aku menitikkan air mata. Aku mencoba mencari sumber suara yang ternyata 6 meter dariku. Dia berwajah khas Turki, hidung mancung dengan mata coklat dan berkulit putih. Setelah aku lihat-lihat ternyata aku pernah melihat dia sebelumnya, dia satu fakultas denganku hanya beda kelas, kalau tidak salah dia bernama Fatih. “Sial! dia mendapatiku sedang melihatnya mengaji”. Dia tersenyum simpul, lalu kembali mengaji. Lalu membuatku kembali terhanyut dalam ayat-ayat suci itu. “Alissha.. maaf membuatmu lama menunggu ayo kita pulang!”, suara Shamirra memecahkan keheningan lalu aku cepat-cepat menyapu air mataku. “Sham, bagaimana kalau kita jalan-jalan sekitar masjid ini?” ajakku. Shamirra mengangguk sambil tersenyum.
Udara sore itu semakin dingin, anginnya semakin kencang tapi terasa
sangat mendamaikan kicauan burung beradu dengan suara-suara orang
mengaji di sekitar masjid merupakan kombinasi yang sempurna menurutku.
Selama kami mengitari masjid itu, aku bertanya banyak tentang Islam
kepada Shamirra. Aku seperti seseorang tidak pernah mengenali Islam sama
sekali. Dia pun sepertinya menanggapi dengan sangat senang hati, bahkan
dia mengajakku untuk ikut di majelis milik Ibu Aliffah. Perbincangan
kami semakin mendalam, dimulai dari yang paling sederhana. Shamirra
memintaku untuk menutup aurat. Dia cerita kepadaku tentang hukuman para
wanita muslim yang tidak mau menutup aurat, sehingga membuat tubuhku
merinding.
“Allahuakbar.. Allahuakbar…!”
Terdengar suara adzan magrib yang menghentikan permbicaraan panjang kami. Mendengar adzan Shamirra langsung berjalan ke dalam masjid lalu aku mengejarnya dan berkata bahwa sebenarnya aku sedang tidak halangan, aku hanya beralasan, malas. Shamirra tertawa kecil dan mencubit lenganku, lalu dia menarik tanganku dan mengajaku mengambil wudhu. Kami mengikuti shalat berjama’ah, dan itu untuk pertama kali aku shalat dengan perasaan yang tenang ketika sujud pun aku menangis sejadi-jadinya. Masjid ini di desain sangat baik walau dalam kondisi paling penuh sekalipun, semua yang ada di masjid tetap dapat melihat dan mendengar imam. Karpet lantai masjid berasal dari tempat pemintalan sutera terbaik. Aku jadi ingin mengajak Ayah, Ibu, dan Hassir kesini.
Terdengar suara adzan magrib yang menghentikan permbicaraan panjang kami. Mendengar adzan Shamirra langsung berjalan ke dalam masjid lalu aku mengejarnya dan berkata bahwa sebenarnya aku sedang tidak halangan, aku hanya beralasan, malas. Shamirra tertawa kecil dan mencubit lenganku, lalu dia menarik tanganku dan mengajaku mengambil wudhu. Kami mengikuti shalat berjama’ah, dan itu untuk pertama kali aku shalat dengan perasaan yang tenang ketika sujud pun aku menangis sejadi-jadinya. Masjid ini di desain sangat baik walau dalam kondisi paling penuh sekalipun, semua yang ada di masjid tetap dapat melihat dan mendengar imam. Karpet lantai masjid berasal dari tempat pemintalan sutera terbaik. Aku jadi ingin mengajak Ayah, Ibu, dan Hassir kesini.
Baru kali ini aku merasa damai secara hati, walaupun selalu mendapat
prestasi yang sangat baik. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini.
Setelah selesai shalat, aku meminta Shamirra untuk menemaniku membeli
jilbab beserta pakaiannya. Dia tersenyum lalu memelukku. Karena selama
ini dia selalu menasehatiku tanpa pernah aku tanggapi.
Kami keluar dari kompleks masjid dan mengunjugi pusat pertokoan di
dekat masjid. Istanbul waktu malam menjadi lebih indah. Cahaya kubah
Masjid Biru menerangi sekitaran jalan, ditambah kilauan lampu jalan yang
berwarna-warni serta para penjual di sekitar jalanan tersebut. Aku dan
Shamirra memilih beberapa setel baju. Aku tidak cukup tahu, maka dari
itu aku percayakan sepenuhnya kepada Shamirra untuk memilih. Aku sangat
beruntung aku ditakdirkan Allah untuk bertemu dengan Shamirra.
Malam sudah semakin larut, kota ini tetap ramai. Setelah mendapatkan
baju, aku dan Shamirra kembali ke masjid untuk melaksanakan shalat
Isya’, untungnya Shamirra menelpon saudaranya untuk menjemput kami di
Masjid Biru karena saat itu sudah pukul 9 malam.
Sampainya di asrama, aku memeluk Shamirra sekali lagi dan mengucapkan
terima kasih kepadanya yang masih mau menjadi temanku walau imanku
tidak sebaik dia. Aku masuk ke dalam kamarku, lalu mencoba memakai baju
yang aku beli tadi. Aku menutup mata dan mencoba mengikrarkan dalam
hati, bahwa aku harus memakainya apapun pendapat orang. Saat kuliah pun
aku menggunakan baju panjang ini, sebagian besar teman-temanku ikut
senang melihat perubahan penampilanku. Saat istirahat belajar pun
Shamirra mengajakku untuk ikut ke dalam komunitas mahasiswi Muslim
Inggris yang kuliah di universitas ini. Disana aku seperti menemukan
“rumah” dan menemukan Islam yang aku hilangkan selama ini.
Seperti yang aku janjikan kepada orangtuaku, bahwa setelah 2 semester
aku akan pulang ke Leeds. Aku sudah tiba kembali di Leeds Bradford Int.
Airport. Kota ini tidak berubah, selalu ramai dan selalu sibuk. Aku
sudah tidak sabar kembali melihat Hassir yang selalu memakai jersey
Liverpool kesayangannya walaupun selama ini aku juga tidak terlalu
sering bermain dengannya. Aku rindu dengan Anne dan Karinee sahabat
sekolahku, terutama aku merindukan ayah dan ibu.
Menunggu sekitar 15 menit. Ayah, ibu dan Hassir akhirnya datang. Aku memeluk Hassir, walaupun aku tau dia agak ragu mengenaliku karena sebelum memelukku dia berkata “are you the real Alissha? I must be wrong” saat itu aku hanya tertawa kecil dan membalasnya dengan “no! I am not Alissha, I am the “new” Alissha!!”. Ibu dan Ayah sangat bahagia melihat penampilan baruku ini. Terutama Anne dan Karinee yang menyangka aku sudah gila dengan penampilan baruku ini, tapi di satu sisi mereka sangat mendukungku dengan baik. They are always be my best friend and Shamirra is my sister. She is like my savior from Allah to save my life.
Menunggu sekitar 15 menit. Ayah, ibu dan Hassir akhirnya datang. Aku memeluk Hassir, walaupun aku tau dia agak ragu mengenaliku karena sebelum memelukku dia berkata “are you the real Alissha? I must be wrong” saat itu aku hanya tertawa kecil dan membalasnya dengan “no! I am not Alissha, I am the “new” Alissha!!”. Ibu dan Ayah sangat bahagia melihat penampilan baruku ini. Terutama Anne dan Karinee yang menyangka aku sudah gila dengan penampilan baruku ini, tapi di satu sisi mereka sangat mendukungku dengan baik. They are always be my best friend and Shamirra is my sister. She is like my savior from Allah to save my life.
0 komentar:
Posting Komentar