Posted by Blogger Name. Category:
cerpen Islami
Penulis : Dyla Aerchy
Ku pandang erat wajahnya. Senyum simpulnya mengisaratkanku untuk
segera memulai episode hari ini. Aku membalas senyumnya tanda
mengiyakan.
“Segeralah telingaku tidak sabar untuk menyantap hidangan lezat dari mu” katanya padaku.
“Segeralah telingaku tidak sabar untuk menyantap hidangan lezat dari mu” katanya padaku.
Najwa Shofiatul Viana Dalmores Kristanto, itulah nama pemberian
orangtua ku. Nama yang diperoleh dari penggabungan dua keyakinan. Ibuku
muslim namun tak pernah sholat, ayahku Kristanto mengaku kristen namum
tak pernah sembahyang. Abangku Heri? aku tak tahu apa agamanya, sama
sepertiku tak tahu apa agamaku. Aku tak mengenal Tuhan. Jangankan Tuhan
siapa diriku aku tak mengenalinya. Aku sempat berfikir mungkin ini semua
akibat kurangnya kasih sayang dan perhatian dari orangtua, yang membuat
ku jatuh ke jerembah kenistaan. Aku menjadi pecandu sejak umur 14
tahun. Semua ini berawal dari kepindahanu ke Jakarta. Disana aku mulai
mengenal brutalisme, dunia malam, dan hal-hal berbau kedurjanaan. Aku
sadar bahwa aku adalah seorang wanita. Tapi aku tak menyadari apa
hakekat seorang wanita, yang terfikir dalam benak ini ialah
Yang penting aku bahagia.
Senang itu mahal harganya.
Inilah hidupku biar aku yang menentukan, jangan campuri kehidupanku.
Yang penting aku bahagia.
Senang itu mahal harganya.
Inilah hidupku biar aku yang menentukan, jangan campuri kehidupanku.
Ayah dan bunda membiarkanku begitu saja. Tak ada setitik kepedulian
pun padaku. Hingga pada akhirnya ada seorang yang terketuk hati melihat
keadaanku yang kian hari kian tak karuan. Ia adalah Slamet. Adik ibuku.
Mungkin karena namanya itulah ia sering dijuluki “Dewa Para Kaum
Pencandu” Sama sepertiku ini.
1 tahun lebih aku dirawat om Slamet bersama puluhan jamaah pencandu
lainnya di pojok utara kota Jakarta. Mulanya ada berontak dari diri ini.
Ada semacam ketidak tahanan berada di lingkungan yang membuat telinga
panas dan badan menggigil. Ada sedikit niatan ingin kembali ke lembah
durjana itu. Namun berkat cinta, kesabaran dan kegigihan keluarga Slamet
aku berhasil diluluskan dari title pecandu barang haram tersebut.
Setelah benar-benar difonis bebas dari barang mematikan itu. Aku
memutuskan untuk pulang untuk mengabdi dan melepas rindu pada orang yang
tak pernah merasakan rindu pada ku. Aku berharap kepulangan ku kali ini
dapat merubah keadaan dan melunakkan hati bang Heri dan sepasang
bidadariku. Tapi sepertinya itu mustahil. Setibanya aku di rumah sama
sekali tak merubah keadaan. Bang heri malah semakin tak karuan, Ayah
masih sama yang difikirkan hanyalah duit-duit dan duit. Bunda? entahlah
aku tak mengerti jalan fikirannya.
Usai absen hampir satu tahun lebih dari bangku sekolah kini aku
kembali menjamahnya namun tak di tempat yang sama. Aku harus pindah dan
mengulaingi dari kelas 2. SMK Negeri 1 itulah sekolah pilihanku saat
ini. Ada sepercik harapan ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya
di tempat ini. Aku ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi semua
orang, aku ingin mendalami agama ku, agama islam, dan aku ingin menutupi
auratku yang selama ini aku umbar layaknya bandeng di pasar
tradisional.
Satu tahun sudah aku bergelut dengan jutaan ilmu di lingkungan
baruku. Berawal dari kegiatan rutinan di SMK yaitu TBA (Taman Baca
Alquran) aku mendapatkan ketenangan jiwa melalui ayat-ayat suci nan
merdu yang dibacakan oleh sang mentor TBA. Aku tereyuh dan tak kuasa
melinangkan air mata. Pertemuan pertama aku tak berani berkata apa-apa
karena takut identitasku terkuak. Hingga pada akhirnya aku tak kuasa
menahan gejolak hati untuk segera mengungkapkan isi hati bahwa aku ingin
segera belajar agama lebih dalam. Sang mentor dengan senyum ramah
menyambutku dengan peluk hangat.
“Barokallah, selamat bergabung dik, semoga istiqomah”
Dan dari situlah aku benar-benar terjerumus ke dalam kecintaan yang begitu dalam akan indahnya islam.
“Barokallah, selamat bergabung dik, semoga istiqomah”
Dan dari situlah aku benar-benar terjerumus ke dalam kecintaan yang begitu dalam akan indahnya islam.
Sore itu aku beranikan diri untuk meminta izin kepada Bunda dan Ayah perihal keinginanku untuk berjilbab.
“Apa kamu mau berjilbab? Apa bunda ndak salah dengar? Ealah Nduk-Nduk kowewi ra pantes nganggo jilbab, tontonen kelakuan mu iku, apa ya pantes, apa ya memper? Masak pecandu jilbaban, ngisin-ngisini. Udah sekolah yang bener jangan bolosan. Cukup itu aja bunda udah seneng”. (1)
Perih hati ini mendengar jawaban bunda. Ingin rasanya ku menumpahkan hujan di atas pipi namun ku tahan. Aku tak ingin mereka semakin menertawakanku atas kecengengan yang ku pertontonkan.
“Tak selamanya jalan ini mulus Vin, jika kau ingin berlian yang bersinar maka kau harus mendakinya lebih dalam, dan tentunya dalam pendakian itu kau akan menemui kerikil-kerikil kecil yang akan menyakitimu” Kata dari mbak mentor inilah yang senantiasa menyemangatiku.
“Wealah Vin-Vin preman kok berjilbab, ya lucu tah, malu-maluin jilbabmu, apa lagi kamu ini mantan pecandu nark*ba, kelas akut lagi. Malu aku Vin jadi kamu” tambah Bang Heri.
“Vina lebih malu jika selamanya Vina tak mengenal Tuhan, sama kayak bang Heri”
Braaakkk. Suara gebrakan meja memanaskan suasana. Bunda hanya terdiam.
“Kemasukan setan mana kamu ini Vin udah berani sama abang kamu. Siapa yang mengajari kamu seperti ini, ha? Ayah tekankan sekali lagi jangan sekali-kali kamu kotori rumah ayah dengan jilbab, ingat itu”.
“Apa kamu mau berjilbab? Apa bunda ndak salah dengar? Ealah Nduk-Nduk kowewi ra pantes nganggo jilbab, tontonen kelakuan mu iku, apa ya pantes, apa ya memper? Masak pecandu jilbaban, ngisin-ngisini. Udah sekolah yang bener jangan bolosan. Cukup itu aja bunda udah seneng”. (1)
Perih hati ini mendengar jawaban bunda. Ingin rasanya ku menumpahkan hujan di atas pipi namun ku tahan. Aku tak ingin mereka semakin menertawakanku atas kecengengan yang ku pertontonkan.
“Tak selamanya jalan ini mulus Vin, jika kau ingin berlian yang bersinar maka kau harus mendakinya lebih dalam, dan tentunya dalam pendakian itu kau akan menemui kerikil-kerikil kecil yang akan menyakitimu” Kata dari mbak mentor inilah yang senantiasa menyemangatiku.
“Wealah Vin-Vin preman kok berjilbab, ya lucu tah, malu-maluin jilbabmu, apa lagi kamu ini mantan pecandu nark*ba, kelas akut lagi. Malu aku Vin jadi kamu” tambah Bang Heri.
“Vina lebih malu jika selamanya Vina tak mengenal Tuhan, sama kayak bang Heri”
Braaakkk. Suara gebrakan meja memanaskan suasana. Bunda hanya terdiam.
“Kemasukan setan mana kamu ini Vin udah berani sama abang kamu. Siapa yang mengajari kamu seperti ini, ha? Ayah tekankan sekali lagi jangan sekali-kali kamu kotori rumah ayah dengan jilbab, ingat itu”.
Aku sadar dulu aku brutal, nakal, dan jauh dari Robku. Tapi itu masa
lalu. Apa salahnya jika aku ingin berbenah diri menjadi wanita sholihah,
dan dekat dengan Robku? Kenapa seakan jalan ini begitu sulit untuk ku
tempuh ya Rob?
Aku terbuai oleh ribuan pertanyaan yang menari-nari di kepalaku.
Aku terbuai oleh ribuan pertanyaan yang menari-nari di kepalaku.
Tujuh hari aku bertahan dengan ketidak tahanan. Hingga pada akhirnya
ku beranikan diri untuk menceritakan keluh kesahku pada orang yang
kupercaya. Umi salamah. Guru BP di SMK ku. Alkhamdulillah ia meresponku
dengan baik.
“Ibu senang dengan niat baikmu untuk menutup aurat nak, semoga dengan ini kamu bisa membuka jalan untuk bapak dan ibumu menuju ridho Allah SWT”
“Ibu senang dengan niat baikmu untuk menutup aurat nak, semoga dengan ini kamu bisa membuka jalan untuk bapak dan ibumu menuju ridho Allah SWT”
Sesaat suasana hening. Umi Salamah seperti mencari sesuatu yang disembunyikan. Aku hanya terdiam memandangi buku bacaan umi.
“Umi punya hadiah buat nak Vina, semoga ini bisa bermanfaat buat nak Vina ya”
Sebuah kantong plastik lengkap dengan 3 buah stel seragam baju muslim dan 3 mukena berwarna-warni. Tak henti-hentinya ku ucapkan terimakasih pada umi sembari menciumi tangannya. Umi Salamah hanya tersenyum padaku dan mengusap butiran-butiran kecil yang menetesi pipiku. Ternyata umi Salamah sudah mengetahui permasalahanku selama ini. Beliau salut melihat perjuanganku selama ini.
Perjuangan tuk mencari pencerahan.
Perjuangan tuk mendapat keridhoan Sang Maha Hidup.
Dan perjuangan untuk menjadi muslimah sejati yang takut karenaNya, bukan karena aturan-aturan yang dibuat manusia.
“Umi punya hadiah buat nak Vina, semoga ini bisa bermanfaat buat nak Vina ya”
Sebuah kantong plastik lengkap dengan 3 buah stel seragam baju muslim dan 3 mukena berwarna-warni. Tak henti-hentinya ku ucapkan terimakasih pada umi sembari menciumi tangannya. Umi Salamah hanya tersenyum padaku dan mengusap butiran-butiran kecil yang menetesi pipiku. Ternyata umi Salamah sudah mengetahui permasalahanku selama ini. Beliau salut melihat perjuanganku selama ini.
Perjuangan tuk mencari pencerahan.
Perjuangan tuk mendapat keridhoan Sang Maha Hidup.
Dan perjuangan untuk menjadi muslimah sejati yang takut karenaNya, bukan karena aturan-aturan yang dibuat manusia.
Dia kembali tersenyum menyimak episode yang terjegal tangis. Aku
memeluknya erat. Jujur aku merasa tenang jika bersamanya. Dia pun
mempersilakanku menuntaskan episode yang terjegal.
Esok harinya ku kenakan seragam pemberian Umi Salamah. Cantiknya
paras ini saat sebuah mukena menghiasi mahkotaku. Ku kenakan jaket
sebagai penutup seragam baruku agar ayah dan bunda tak mencak-mencak
(2). Namun sepertinya Allah ingin menguji ketahanan hatiku. Belum sempat
aku mengucap salam tanda berangkat sekolah ayah menarik penutup
kepalaku.
“Apa-apaan kamu ini, sudah ayah katakan jangan kotori rumah ayah dengan barang beginian. Mau ngelawan ayah kamu ya?”
Aku terdiam tak berkutik sedikit pun.
“Sampai kapanpun ayah tak akan izinkan kamu memakai barang beginian”
Sakit… perih… hati ini …
Aku tak kuasa lagi menahan linangan mutiara bening ini. Dadaku sesak mendapati perlakuan yang sangat tak wajar dari seorang ayah. Tapi apa daya walaupun begitu beliau adalah bidadariku. Dia tetap ayah yang teleh membesarkanku.
Ya Rob ampuni ayahku, bukakanlah pintu hatinya, tunjukanlah jalan kebenaran baginya. Sadarkanlah beliau berikanlah hidayahmu untuk beliau ya Rob, aamiin
“Apa-apaan kamu ini, sudah ayah katakan jangan kotori rumah ayah dengan barang beginian. Mau ngelawan ayah kamu ya?”
Aku terdiam tak berkutik sedikit pun.
“Sampai kapanpun ayah tak akan izinkan kamu memakai barang beginian”
Sakit… perih… hati ini …
Aku tak kuasa lagi menahan linangan mutiara bening ini. Dadaku sesak mendapati perlakuan yang sangat tak wajar dari seorang ayah. Tapi apa daya walaupun begitu beliau adalah bidadariku. Dia tetap ayah yang teleh membesarkanku.
Ya Rob ampuni ayahku, bukakanlah pintu hatinya, tunjukanlah jalan kebenaran baginya. Sadarkanlah beliau berikanlah hidayahmu untuk beliau ya Rob, aamiin
Akhirnya hari itu aku sekolah tanpa jilbab namun seragam ku panjang.
Sontak pemandangan ini menjadi bahan guyonan (3) teman-teman di sekolah.
Banyak yang berceloteh mulai aku aneh, gila, hingga kampungan. Tapi ku
biarkan suara-suara tak jelas itu. Aku tetap berjalan menuju kelas.
Karena aku ingat tujuan ku ke sekolah adalah untuk menuntut ilmu bukan
mencari perkara kayak dulu. Keteguhan hati ini semakin kuat karena
dukungan orang yang saat ini berada di hadapanku.
Bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi. Aku pulang dengan sedikit
kebahagiaan karena bisa menjalani separuh hari ku dengan lancar.
Sesampainya di rumah aku mencari jilbab pemberian umi Salamah tempo
hari. Ku acak-acak seisi kamar namun tak kutemukan jua. Ku tanya pada si
abang.
“Tadi sih abang lihat ayah masuk kamar mu bawa kantong plastik tapi ndak tahu apa isinya”
“Lantas?”
“Ayah bakar di belakang rumah”
“Tadi sih abang lihat ayah masuk kamar mu bawa kantong plastik tapi ndak tahu apa isinya”
“Lantas?”
“Ayah bakar di belakang rumah”
Mendengar penjelasan bang Heri aku lari ke belakang rumah. Benar saja
ayah membakar jilbab-jilbab pemberian umi Salamah itu. Entah apa maksud
beliau. Aku tak tahu mengapa ayah begitu keras melarangku untuk
berjilbab. Sempat ku berfikir apa mungkin karena ayah NONIS? Tapi apa
iya setahu ku ayah begitu menghargai perbedaan. Ku beranikan diri untuk
bertanya meski sejatinya hati bergejolak.
“Ayah sudah bilang beratus-ratus kali, ayah tak ingin ada barang beginian di rumah ayah, apalagi anak ayah memakainya”
“Tapi mengapa yah? Kasih Vina alasan”
Ayah terdiam. Aku terus memaksanya untuk menjawab pertanyaanku.
“Dasar anak tak tau diri, dibilang ayah tak suka ya tak suka. Kalau memang kamu ingin makai silakan angkat kaki dari rumah ini. Pintu rumah ini terbuka lebar untuk mengeluarkanmu”
Bagai disambar petir mendengar jawaban ayah. Namun apa boleh buat, niatanku sudah bulat aku ingin menutup aurat. Akhirnya siang itu juga aku angkat kaki dari rumah mungil itu. Aku sempat melirik bunda tak ada sedikitpun tindakan untuk mencegahku. Beliau hanya diam dan meneteskan air matanya. Mungkin takut dengan ayah.
“Ayah sudah bilang beratus-ratus kali, ayah tak ingin ada barang beginian di rumah ayah, apalagi anak ayah memakainya”
“Tapi mengapa yah? Kasih Vina alasan”
Ayah terdiam. Aku terus memaksanya untuk menjawab pertanyaanku.
“Dasar anak tak tau diri, dibilang ayah tak suka ya tak suka. Kalau memang kamu ingin makai silakan angkat kaki dari rumah ini. Pintu rumah ini terbuka lebar untuk mengeluarkanmu”
Bagai disambar petir mendengar jawaban ayah. Namun apa boleh buat, niatanku sudah bulat aku ingin menutup aurat. Akhirnya siang itu juga aku angkat kaki dari rumah mungil itu. Aku sempat melirik bunda tak ada sedikitpun tindakan untuk mencegahku. Beliau hanya diam dan meneteskan air matanya. Mungkin takut dengan ayah.
Pikiran melayang. Hendak kemana kaki ini melangkah. Satu jam lebih
aku berjalan menyusuri trotoar. Hingga pada akhirnya aku memutuskan
untuk ke rumah umi Salamah. Sesampainya disana ku ceritakan semua yang
telah ku alami. Dan hingga detik ini aku diasuh oleh umi layaknya
seorang anak. Selama tinggal di rumah umi aku aktif di kegiatan
kerohanian bersama orang di hadapanku saat ini. Aku menjadi guru TPA dan
pengurus masjid Baitul Hikmah di SMK ku. Aku sangat menikmati
kehijrahanku ini.
Minggu 12 Maret 2009 sebuah mala petaka menyambarku…
Ketika sedang asyik mengamalkan ilmu Allah aku dikagetkan oleh kabar bahwa ayahku jatuh sakit dan aku harus pulang. Saat itu aku dijemput bang Jeki tetanggaku. Usai pamit Umi salamah aku segera meluncur ke rumah. Betapa kagetnya ketika aku mendapati sepasang tubuh terbujur kaku terbaring di atas dipan. Ayah dan Bunda telah pergi untuk selama-lamanya karena kecelakaan beruntun ketika hendak menjemputku. Badan lemas seperti tak bertulang.
Ketika sedang asyik mengamalkan ilmu Allah aku dikagetkan oleh kabar bahwa ayahku jatuh sakit dan aku harus pulang. Saat itu aku dijemput bang Jeki tetanggaku. Usai pamit Umi salamah aku segera meluncur ke rumah. Betapa kagetnya ketika aku mendapati sepasang tubuh terbujur kaku terbaring di atas dipan. Ayah dan Bunda telah pergi untuk selama-lamanya karena kecelakaan beruntun ketika hendak menjemputku. Badan lemas seperti tak bertulang.
Semenjak kepergian ayah dan bunda kini aku hanya tinggal berdua
dengan abangku. Namun sebulan sekali umi Salamah tetap membesukku. Aku
hidup dengan kesederhanan dan dinaungi rona kedamaian serta kebahagian
karena abang heri benar-benar berubah 180 derajat. Ia telah menjadi
seorang muslim sejati.
“Ya Rob inilah SEKAIPAW yang senantiasa ku nanti-nantikan meski kabut itu menghitam?”
Aku menatap langit dengan senyum kebahagiaan.
“Ya Rob inilah SEKAIPAW yang senantiasa ku nanti-nantikan meski kabut itu menghitam?”
Aku menatap langit dengan senyum kebahagiaan.
Di penghujung penutup episode hari ini dia mengejutkanku dengan
pernyataanya “Karena sesungguhnya setelah kesusahaan itu akan ada
kebahagiaan. Bukan hanya dirimu yang telah bermertamorfosis aku pun
juga. Berkat dirimu aku menjadi sekarang ini. Terimakasih telah
menginspirasiku Vina”. Tak pernah sedikitpun terlintas dalam benak ini
aku menjadi inspirasi oleh orang yang juga menginspirasiku. Mentorku.
Kebahagian itu bertambah manakala aku menemukan sepucuk surat yang
khusus dipersembahkan untuk ku. Mantan pencandu. Peluk erat kembali
kurasakan di akhir episode hari ini. Sungguh SEKAIPAW itu nyata adanya.
Dan janji Allah itu selalu tepat pelangi itu datang usai hujan.
Note :
1. Apa kamu mau berjilbab? Apa bunda tidak salah dengar? Kamu itu tidak pantas pakai jilbab, lihatlah kelakuanmu, apa ya pantas? Masak pecandu mau pakai jilbab. Malu-maluin. Udah sekolah yang benar jangan bolosan. Itu saja bunda sudah senang.
2. Ngomel-ngomel
3. Tertawaan.
4. SEKAIPAW = Semua Kan Indah Pada Waktunya
1. Apa kamu mau berjilbab? Apa bunda tidak salah dengar? Kamu itu tidak pantas pakai jilbab, lihatlah kelakuanmu, apa ya pantas? Masak pecandu mau pakai jilbab. Malu-maluin. Udah sekolah yang benar jangan bolosan. Itu saja bunda sudah senang.
2. Ngomel-ngomel
3. Tertawaan.
4. SEKAIPAW = Semua Kan Indah Pada Waktunya
0 komentar:
Posting Komentar