Posted by Blogger Name. Category:
cerpen Islami
Penulis : Taufik Ikhsan Slamet
Air mata itu tak berhenti. Tenggorokannya kering, hanya suara serak
yang keluar dari mulutnya yang menganga. Hampir dua jam tanggannya
mengadah menghadap langit-langit Nabawi. Tapi tak satu kata pun yang
terdengar menjadi doa. Andaikan kata-kata itu mampu ia ucapkan, niscaya
pilar-pilar masjid akan bergetar mendengar segala pengakuan
kesalahannya.
Semenjak ia menginjakkan kaki di tanah suci, suaranya seakan-akan
terampas oleh udara. Pita suaranya terkunci, lidahnya kaku. Dia tak bisa
lagi berbicara, bahkan untuk minum atau makan pun mulutnya sulit untuk
digerakkan. Tapi untunglah, teman-teman di rombongan ibadah umrohnya
bersedia untuk membantunya melaksanakan ibadah.
Mariana namanya, usianya 28 tahun. Seorang anak yatim piatu karena ia
pun belum berkeluarga, tapi dia sudah berpengalaman menjalani peran
sebagai ‘ibu rumah tangga’ cadangan bagi para lelaki yang kesepian.
Setelah hampir beberapa tahun menjalani profesi yang tidak halal
tersebut, hidayah mampir ke hatinya, walaupun sedikit terlambat.
Mariana dulu tinggal bersama ibunya di sebuah kontrakan yang dekat
dengan tempat mangkalnya. Di rumah, sering terdengar kata-kata kasar
terlontar dari Mariana, manakala sang ibu menasihatinya untuk berhenti
dari pekerjaannya. Hanya untaian tasbih ke tahmid, tahmid ke tahlil, di
dalam hati sang ibu, demi melahirkan kesabaran dalam lautan maaf untuk
anaknya. Tapi sayang, Mariana belum mampu menyadari kesalah besarnya.
Setiap subuh, manakala sang ibu bermunajat kepada tuhan di atas
sajadahnya, Mariana biasanya baru pulang. Tercium bau alkohol yang
menyengat dari tubuh Mariana, tapi itu tak menyurutkan kasih sang ibu
untuk mengusap wajah anaknya dengan handuk yang hangat. Setiap usapan
sang ibu yang penuh cinta, menghapuskan sisa-sisa bedak dan lipstik yang
sudah dijamah oleh lelaki berbeda di tiap malam Mariana.
Mulai dari pengusaha, pegawai kantor, pejabat, hingga preman, pernah
menjadi tamu Mariana. Tak satu pun lelaki-lelaki itu menyadari betapa
sakitnya hati sang ibu, manakala mereka mengantarkan Mariana pulang di
waktu subuh. Sang ibu selalu menangis, manakala sang anak diantarkan
pulang dalam kondisi mabuk bahkan pernah hampir tak sadarkan diri. Bagi
para lelaki binatang tadi, Mariana mungkin hanya sebatas barang sewaan,
yang setelah dipakai dikembalikan lagi. Tapi bagi sang ibu, Mariana
adalah separuh raga dan jiwanya, dimana ketika di dunia Mariana adalah
seluruh kebahagiaannya.
Di kamar sang ibu, terpajang hiasan sulam bergambar Ka’bah. Hiasan
itu adalah satu-satunya kenangan yang bisa membawa sang ibu membuka
kembali kenangan-kenangan indah bersama suaminya. Orangtua Mariana
memiliki cita-cita sejak menikah untuk bersama-sama suatu saat nanti
berdoa di pintu Multazam, tapi kini tidak mungkin lagi. Suaminya telah
tiada, meninggalkan ibu dan Mariana berdua untuk melanjutkan hidup yang
harus terus dipertahankan.
Hampir tujuh tahun Mariana terjun sebagai perempuan malam, selama itu
pula hubungannya dengan sang ibu semakin merenggang. Walau begitu,
Mariana tau benar akan impian ibu dan mendiang ayahnya. Sering Mariana
tak sengaja melihat sang ibu menangis sembari memeluk hiasan Ka’bah yang
usianya hampir seusia Mariana. Tapi rasa angkuh Mariana selalu
membuatnya enggan untuk membicarakan impian itu pada sang ibu.
Tetapi ketulusan sang ibu yang selalu merawat Mariana dalam kondisi
apapun rupanya sedikit demi sedikit mengikis rasa angkuh di dalam hati.
Walaupun tetap pada pekerjaannya, di hati kecil Mariana ada niat untuk
mewujudkan cita-cita sang ibu. Uang yang didapatkan Mariana memang tidak
terlalu besar, dan butuh waktu yang sangat lama untuk membiayai ibadah
tersebut. Akhirnya mimpi itu pun disimpannya dalam-dalam.
Tuhan punya rencana lain. Mariana membaca sebuah kolom berita di
surat kabar tentang sayembara penulisan resensi novel yang berhadiah
paket perjalanan umroh untuk dua orang. Keinginan yang tulus itu
menggerakkan Mariana untuk mengikuti sayembara. Mariana meluangkan waktu
di siang hari, yang biasanya ia gunakan untuk tidur, kini ia gunakan
untuk menuliskan resensi novel. Sang ibu belum mengetahui niat Mariana,
apalagi Mariana kini banyak menghabiskan waktu siang di kontrakan
temannya.
Tiga bulan terlampaui sejak Mariana mengirimkan hasil tulisannya ke
panitia sayembara tersebut, dan pengumuman yang ditunggu pun tiba.
Mariana bergegas mencari informasi di surat kabar, seluruh surat kabar
lokal dan nasional ia beli. Lama ia mencari, satu surat kabar bisa ia
baca ulang sampai tiga kali. Tetapi informasi itu tidak ia dapatkan, tak
ada dalam seluruh surat kabar yang ia beli. Ia pasrah, mungkin
sayembara itu sudah menemukan juaranya.
Di suatu malam ketika ia bekerja, ada pesan yang masuk ke
handphonenya. Mariana terkejut, pesan yang masuk itu berasal dari sang
penulis novel yang bukunya dijadikan sayembara. Penulis itu
memberitahukan bahwa resensi novel yang ditulis Mariana adalah yang
terbaik yang pernah ia baca, dan resensi dari Mariana menjadi juara
untuk sayembara itu. Mariana menitikkan air mata, bahagia mendekapnya di
antara musik-musik keras di diskotik tempatnya bekerja. Dia pun
berencana untuk segera memberitahukan ibunya disaat waktu pulang nanti.
Setibanya di rumah, Mariana bergegas masuk ke rumah, tidak
mempedulikan tamunya yang saat itu mengantar. Pada subuh itu tidak
biasanya kamar sang ibu ditutup, Mariana kemudian menunggu di depan
kamar ibunya. Hampir setengah jam Mariana menunggu, sang ibu tak juga
keluar. Untuk memastikan bahwa ibunya berada di kamar, Mariana membuka
pintu kamar sang ibu perlahan. Terlihat oleh Mariana sang ibu sedang
sujud. Lama Mariana menatap ibu yang sedang sujud, tapi sang ibu tak jua
selesai bersujud.
Mariana memanggil ibunya pelan. Tidak mendapatkan respon dari sang
ibu, Mariana mendekat ke ibunya. Dipanggilnya lagi sang ibu dengan
pelan, tetapi ibunya tak juga bergeming. Mariana meletakkan tangannya di
pundak ibunya. Sembari memanggil ibunya, Mariana menggetarkan badan
sang ibu, sang ibu tak juga bergerak. Perasaan takut mulai menyeruak di
benak Mariana.
Diangkatnya wajah sang ibu, rasa dingin terasa di tangan Mariana,
wajah ibunya sangat dingin. Mariana terus memanggil ibunya, walau ibunya
tetap diam bergeming. Mariana menyadari bahwa ibunya, yang saat itu ada
dalam pelukannya, sudah meninggal. Air mata mengalir deras, isak tangis
Mariana tak mampu menghadirkan ibunya kembali. Bayangan Mariana akan
berangkat umroh bersama ibunya hanya menjadi kenangan yang tersisa.
Kini Mariana hanya sendirian, menjalankan ibadah umroh yang
seharusnya bersama sang ibu. Doa-doa untuk ibu selalu mengalir dalam air
mata tanpa suara. Tetes-tetes air mata itu jatuh di lantai Masjid
Nabawi, membawa gemuruh hatinya yang ingin berontak karena lautan
permohonan ampun yang tak mampu ia lontarkan. Suaranya yang tak mampu
dikeluarkan sangat menyiksa Mariana, terasa seperti ada penjara yang
mengurung rasa salah yang sudah menggunung di hatinya. Mariana pasrah
dalam rasa bersalah yang kini menjadi teman dekatnya.
Namun, karunia tuhan untuk Mariana tidaklah putus. Disaat berdoa di
Pintu Multazam, tuhan pun menunjukkan kuasanya. Mariana menghadap di
pintu itu, meletakkan kedua tanggannya tepat di Pintu Multazam. Air
matanya tak berhenti mengalir, sembari mencium dinding pintu, Mariana
akhirnya dapat menggerakkan bibirnya. Ia pun berbicara, “maafkan Mariana
ibu.”.
0 komentar:
Posting Komentar