Posted by Blogger Name. Category:
cerpen Islami
Penulis : Rizky Ramadhani
Hari Jumat. Hari di mana setiap muslim menjalankan ibadah shalat
Jumat. Itu juga yang terjadi pada hari Jumat ini. Jumat di bulan
Februari tahun 2013. Tak ada yang istimewa dari hari ini. Semua terjadi
seperti biasa. Pagi saya kuliah, siang shalat jumat, selesai itu acara
bebas.
Waktu menunjukan pukul dua belas kurang dua menit. Bergegas saya
bersama teman saya, Wahyu, pergi untuk menunaikan shalat Jumat di masjid
Ukhuwah Islamiyah, kampus UI. Hari ini terlihat lebih banyak orang yang
berjalan menuju arah masjid. Mereka kebanyakan mengenakan batik rapi,
bahkan jas. Aneh sekali… Shalat jumat kok pakai jas? Pikir saya ketika
itu.
“Hari ini ada apa sih, yu? Kok rame banget?” tanya saya kepada wahyu
yang tampak turut memperhatikan jalanan dipenuhi mobil yang parkir.
“Hari ini kan ada wisuda! Masa lo lupa?”
“Oh iya, ya? Pantes kayanya rame banget. Udah kaya pada mau kondangan,” sahut saya kembali sambil tersenyum simpul.
Obrolan terus bersambut membicarakan topik wisuda yang setahun lagi bakal kami alami.
Langkah bapak-bapak sepertinya semakin cepat. Kami tak mau ketinggalan hingga tibalah kami di masjid utama kampus UI ini.
Suasana tak biasa langsung kami dapati begitu memasuki gerbang
masjid. Banyak bapak-bapak dan anak-anak mondar mandir di areal halaman
masjid. Masjid terasa sesak, lebih mirip suasana pasar. Ada yang
berlarian, ada yang mengerubungi tikar tambahan yang digelar di halaman,
ada juga yang memadati tempat pengambilan air wudhu.
Kami segera mengambil wudhu karena khutbah Jumat sudah dimulai sejak
tadi. Airnya kering sekali dan berbau besi. Tak mengenakan sekali.
Sumpek pula!
Keluar tempat wudhu mata kami berusaha mencari titik lowong yang
setidak-tidaknya bisa buat duduk. Tepat di luar tempat wudhu kami
mendapat sedikit lapak untuk menunggu khotbah usai. Ah sial, tempat ini
panas sekali. Tak ada atap menaungi kami duduk. Pohon rindang juga tak
sampai menyentuh lokasi kami. Biarlah kami sedikit kepanasan. Sebentar
lagi khutbah juga akan berakhir. Soal shalat, ya lihat saja nanti. Pasti
juga kebagian! Biasanya juga gitu.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Suara Iqomah membangun kan kami dari
mata yang setengah tidur mendengarkan khutbah. Ya untung baru setengah
tidur!
Orang-orang kemudian bergegas mengambil posisi shalat jumat. Mereka
saling dorong hingga tempat saya yang hanya memungkinkan satu baris
langsung terisi penuh, sangat rapat. Alhasil kami terseleksi untuk masuk
barisan itu. Kami menatap ke depan mencari peluang baris-baris kosong.
Gawat! Semua barisan terlihat penuh. Bapak-bapak, orang tua wisudawan
benar-benar memadati setiap jengkal lahan yang biasanya kosong
melompong. Di depan kami adalah pekarangan masjid yang ditanami rumput.
Sebagian orang sudah merapat ke salah satu tikar tambahan yang digelar.
Tak tampak lagi celah kecil yang bisa kami masuki di sana. Di ujung
keramik sayap kiri dan kanan masjid juga sudah terisi penuh. Matilah
kami!
“Aaaamiiiiiin…” Pertanda itu membuat kami berdua tambah panik. Tampak juga beberapa orang yang senasib dan sepenanggungan.
Sepertinya mereka lebih beruntung karena diam-diam mereka telah
membawa koran bekas untuk alas. Sedangkan kami? Kami tak ada sajadah,
tak ada koran bekas, kecuali tas. Ya ampun sial sekali nasib kami siang
ini.
Saya buka tas dengan sigap, begitu juga Wahyu. Yang ada hanya buku, sampah isi tas, dan alat tulis. haduh.
Apa boleh buat kami shalat beralas rumput. Tak mungkin rasanya shalat
dengan bersujud di atas tas. Dalam hati hanya perasaan kesal dan gondok
yang menggebu-gebu membuat shalat saya terasa tidak kyusyuk. Alamak…
pasti orang-orang dalam batinnya menertawakan kami.
—
Seminggu telah berlalu. Kejadian minggu lalu menyimpan pelajaran berarti bagi saya.
“Makanya… kalau sholat Jumat bawa koran bekas!” Kalimat itu terngiang-ngiang dalam benak saya.
Ini adalah jumat kedua. Kali ini saya sudah menyiapkan koran bekas
yang baru saja saya beli dari tukang koran keliling di dalam kampus.
“Ini berapa mas?” tanya saya terbayang proses jual beli koran tadi.
“Tiga setengah, ka,” sahut anak kecil penjual koran.
Huuh… padahal di koran itu ada cap tertulis “Rp.2000 Khusus Stasiun Depok”
Ah tapi sudahlah itu tak jadi soal. Lagi pula harga koran sekelas
Kompas kan memang tiga ribu lima ratus. Biarlah selebihnya untuk anak
ini. Yaa.. hitung-hitung amal.
Begitulah kejadian tadi pagi saat saya berusaha mengambil hikmah dari
tragedi Jumat kemarin. Koran itu saya sisipkan di jaring-jaring bagian
luar tas.
Pukul setengah dua belas kurang sedikit kembali saya bergegas menuju
masjid UI sendirian. Hari ini tampak jauh berbeda dari kemarin. Tak
tampak lagi orangtua para wisudawan, tak ada lagi keramaian.
Santai sajalah. Pikir saya dengan enteng. Hari ini masjid pasti lowong. Pasti dapat tempat.
Benar saja. Masjid terlihat lowong begitu saya masuk areal masjid.
Ya, seperti dugaan saya. Biasanya memang seperti ini. Kalau seperti ini
sih bisa sambil tidur siang dan bersandar di lantai dua.
Yah…. tapi saya kan sudah beli koran. Masa mahal-mahal tidak dipakai? pikir saya.
Setelah mengambil air wudhu saya putuskan untuk memanfaatkan koran
itu sekalipun masih banyak tempat yang lowong. Sekali-kali boleh lah
saya berbangga punya koran. Saya mau pamer ah. Biar orang lain iri
dengan saya. Terutama yang tidak kebagian tempat. Ada rasa dendam yang
tiba-tiba saja berbisik membalas kejadian minggu lalu.
Tiga lembar tikar tipis itu saya tata sedemikian rupa hingga mirip
sajadah. Saya duduk dengan tenang di atas lembaran koran itu
mendengarkan khutbah sambil sayup-sayup terpejam.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Lagi lagi suara iqomah kembali membangunkan saya dari kenikmatan itu.
Santai sekali saya pada saat itu. Sholat dengan angkuh sambil seakan
meledek yang tak kebagian tempat. Emangnya enak, week! Makanya modal
dong, beli koran… Pikir saya saat itu.
“Samiallahulimanhamidah.” Instruksi itu keluar dari pengeras suara
masjid pertanda saya siap-siap akan sujud dalam waktu sebentar lagi.
Tanpa diduga-duga, angin tiba-tiba saja bertiup sangat kencang. Angin itu seperti isyarat peringatan.
WUUSSHH
Koran yang sudah saya tata dengan apik itu tiba-tiba tertiup angin
lalu melayang ke sebelah kanan. Angin yang bertiup kencang itu membawa
kabur koran, alas saya untuk bersujud.
Hah? Koranku…
Lagi-lagi saya bersujud seperti minggu lalu. Beralas rumput gajah dan
tanah. Miris sekali rasanya hari ini. Lagi-lagi Jumat yang membawa
kesialan.
Pelajaran yang dapat dipetik :
Jika ingin aman shalat jumat, bawalah koran.
Jika ingin korannya tak melayang. pakailah ganjalan.
Jika ingin aman shalat jumat, bawalah koran.
Jika ingin korannya tak melayang. pakailah ganjalan.
—
Hari jumat kembali menyapa saya dengan senyuman. Senyum yang lebih
mirip tertawaan. Kali ini saya lebih sibuk dari biasanya. Hingga jam dua
belas saya masih berkutat dengan laptop di fakultas saya. Saya kali ini
bersama Wahyu lagi. Turut hadir, kekasih saya dan kekasihnya Wahyu di
tempat kami main laptop. Saking asiknya tanpa kami sadari suara adzan
telah berkumandang dari masjid. Suara itu hampir tak terdengar saking
asiknya main laptop.
“Udah sana pada berangkat. Udah adzan tuh!” Pacar saya dan Wahyu berusaha mengingatkan.
Peringatan itu kami abaikan. Saya lihat di jam laptop baru menunjukan
pukul dua belas lebih lima menit. Masih ada injury time. Sebentaar…
Laptop kami tutup. Dengan semangat empat lima kami bergegas ke masjid
yang berbeda. Ganti suasana ah, pikir saya. Wahyu juga menyetujui
tampaknya.
“Ya udah ke masjid stasiun UI aja. Udah lama kan gak ke sana,” ajak wahyu.
“Ayo, berangkat!”
Langkah kami terasa sendirian. Tak tampak orang yang menuju masjid.
Alamak pertanda kesuraman. Kami juga tak mendengar suara khutbah yang
seharusnya sudah terdengar jelas dari tempat kami melangkah ini. Kami
sudah di kandang rusa, sekitar 100 meter lagi untuk mencapai masjid.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Suara itu terdengar dari balik stasiun.
Astaga!!! Itu kan suara iqomah!
Kami langsung lari tergopoh-gopoh mengarah ke masjid. Surat alfatihah telah berlalu cepat sekali.
“Aaaamiiiin…”
Tanpa memperdulikan deru nafas kami bersigap mengambil air wudhu secara kilat, lalu….
“Allahu akbar.”
Kami menuju halaman depan masjid. Ternyata terisi penuh. Ada satu
bagian yang lowong tapi kami tidak mungkin menembus pagar setinggi 1,5
meter. Orang-orang menutupi jalan masuk pintu sehingga daerah lowong itu
tidak bisa dijamah.
Kami panik. ada niatan untuk memanjat. Tetapi apa daya. Imam sudah
rukuk dan hampir sujud. Sepertinya tak ada daya dan upaya yang bisa kami
lakukan.
“Kita ke masjid dekat kontrakkanku saja,” ucap wahyu kilat.
“Wah ayo kalau gitu. Mungkin masih ada kesempatan.”
Dengan menggunakan angkutan umum, hanya tiga menit kami sampai di
dekat kontrakan. Pemandangan pilu kami temui begitu kami tiba di sana.
Orang-orang sudah pulang dari masjid.
Yaaaah….
Rasa kecewa bercampur kesal menjadi satu.
“Ya udah, kita shalat zuhur aja di kontrakanku,” ajak Wahyu lagi.
Saya hanya mengangguk-anggukan kepala. Apa boleh buat. dari pada tidak sama sekali. Yaa cari alternatif saja.
“Yang penting jangan bilang-bilang pacar kita, nanti kita dimarahin!” timpal Wahyu.
“Betul juga tuh, baiklah.”
Lagi-lagi hari Jumat saya berujung pilu. Sial, sial, sial. Jangan ditiru yaa….

0 komentar:
Posting Komentar