Aku lama tidak kembali ke kota ini.
Hampir dua puluh tahun. Perjalanan yang melelahkan. Mengelilingi separuh
dunia hanya untuk melupakan. Hari ini aku pulang. Berusaha mengenang
semua jejak kaki. Semoga masih ada yang tersisa. Semoga masih ada yang
kukenali. Dengan semua kenangan itu, bukan keputusan mudah untuk
kembali. Seperti menoreh kembali luka yang sudah mengering. Menyakitkan.
Tapi ibarat seekor bangau yang terbang jauh, aku harus kembali jua ke
kota ini. Rindu. Tak mengapa mengenang sedikit luka itu.
Aku berdiri takjim di pemakaman kota. Menatap sekitar.
Sepagi ini pemakaman kota terlihat begitu
indah. Dipenuhi hiasan bunga. Merah. Kuning. Putih. Bertebaran.
Bebungaan yang disampirkan di nisan-nisan besar. Bebungaan melilit kayu
yang dipasang silang-menyilang. Bebungaan di air mancur tengah
pemakaman. Bebungaan di patung yang banyak berserak. Sungguh pekuburan
berubah menjadi taman bunga. Nuansa buram kecoklatan berpadu dengan
warna-warni ceria. Hari ini: Hari Monarch. Hari di mana seluruh penduduk kota kami meyakini jiwa yang pergi akan kembali. Hari ini penduduk kota akan berpiknik di pemakaman.
Tepat benar dengan jadwal kedatanganku.
Semburat cahaya matahari pagi menambah
magis suasana. Menelisik sela-sela dedaunan pohon cemara. Cahaya itu
seolah menggantung di atas barisan nisan. Aku tersenyum, bukan menatap
ribuan larik cahaya memesona, lebih karena menatap ribuan kupu-kupu
kuning yang memenuhi pemakaman, sudut-sudut kota, pohon-pohon cemara.
Kupu-kupu itu disebut Monarch. Kupu-kupu itu hanya datang
sekali setahun ke kota ini. Terbang. Membuat anak-anak berlarian
mengejarnya. Membuat pasangan berpelukan mesra melihatnya. Atau sekadar
membuat penziarah pemakaman seperti aku menghela nafas lega.
Kupu-kupu itulah jiwa-jiwa yang kembali.
Sepanjang hari terbang tanpa takut dengan penduduk kota. Entah dari
mana datangnya. Dan sore hari, persis ketika senja membungkus bibir
pantai, kupu-kupu itu kembali ke hutan cemara tepi danau yang berada
dekat kota. Lenyap. Selalu begitu, beratus-ratus tahun. Tidak pernah
ingkar memenuhi janji setianya, selalu datang sehari setiap tahun.
Jam di kapel tua berdentang. Sembilan
gema yang panjang dan berwibawa. Aku takjim mendengarnya. Perayaan ini
akan segera dimulai. Orang tua mulai bergegas meneriaki anak-anak
mereka. Segera turun. Bekal piknik disiapkan. Pakaian tebal dan topi
disampirkan. Menuju pemakaman kota.
Seekor kupu-kupu hinggap di ujung lengan mantelku. Aku menatapnya lamat-lamat. Menghela nafas, “Apakah itu kau, Cindanita? Putri duyung kecilku? Apakah itu kau yang kembali?”
Jalanan mulai ramai oleh penziarah.
Anak-anak berlarian, enggan dikendalikan. Satu dua hampir menabrakku.
Berkejaran riang. Hari ini sekolah diliburkan. Aku menepi, memberikan
jalan bagi serombongan warga kota yang datang. Mereka mengangguk pelan.
Berbincang akrab satu sama-lain. Menunjuk kupu-kupu yang berterbangan.
Hari ini seluruh kegembiraan melingkupi pemakaman besar ini. Semua
datang untuk berkunjung.
Kupu-kupu itu masih hinggap di mantelku. Aku mendesah lirih, “Aku sungguh rindu padamu, Cindanita.”
***
Dua ratus tahun silam.
Legenda itu dimulai di sini. Legenda yang
selalu diceritakan turun-temurun oleh tetua kota. Diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Dengan pesan sederhana, jangan pernah
mengulangi kesalahan yang dilakukan Fram, si petani miskin.
Aku ingat setiap kalimat kisahnya.
Terpesona saat pertama kali mendengarnya. Meyakini cinta sejati sejak
hari itu. Merasa kehidupan akan jauh lebih indah ketika perasaan itu
muncul. Seperti indahnya setiap melihat kupu-kupu monarch yang terbang mengelilingi pemakaman.
Dua ratus tahun silam, alkisah
Fram amat beruntung mendapatkan istri sebaik itu. Kembang kota. Di
antara puluhan pemuda yang menyanjung dan menyatakan cinta, gadis itu
justru memilih Fram, pemuda miskin yang tinggal di danau dekat kota.
Meninggalkan janji kehidupan yang lebih baik yang bisa diberikan pemuda
kaya lainnya. Tidak juga, gadis itu di hari pernikahannya tersenyum
riang dan berkata, “Aku akan menjemput janji cintaku, tidak ada janji
kehidupan yang lebih hebat dari itu, bukan?”
Fram mencintai istrinya. Dan jangan
ditanya apakah istrinya mencintai Fram. Masalahnya, apakah cinta itu?
Apakah ia sebentuk perasaan yang tidak bisa dibagi lagi? Apakah ia
sejenis kata akhir sebuah perasaan? Tidak akan bercabang? Tidak
akan membelah diri lagi? Titik? Penghabisan? Bukankah lazim seseorang
jatuh-cinta lagi padahal sebelumnya sudah berjuta kali bilang ke
pasangan-pasangan lamanya: “Ia adalah cinta sejatiku.”
Ah! Urusan ini benar-benar rumit. Awalnya
keluarga muda itu memulai kehidupan bahagia selama lima tahun. Walau
miskin, mereka selalu merasa berkecukupan. Apalagi istrinya
tidak banyak menuntut, selain perhatian dan kasih-sayang. Tepi danau
kota kami seperti berubah menjadi taman bunga. Pondok kecil mereka
berdiri indah di tengah hamparan kembang. Itulah kesukaan istri Fram
sejak kecil. Kupu-kupu.
Sayang, di penghujung tahun ke lima
pernikahan mereka, musim dingin datang tak-terperikan. Kota kami
dikungkung badai salju berhari-hari. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan.
Tidak ada yang tahu hingga kapan. Salju di mana-mana. Pohon-pohon
meranggas dibalut gumpalan es. Kembang-kembang layu ditimbun tumpukan
es. Danau membeku. Dan tidak ada yang berniat menjejak laut yang
sepanjang hari digantang angin-badai.
Seluruh kota mengalami kesulitan besar.
Berebut makanan menjadi pemandangan sehari-hari. Enam bulan kemudian,
harga sepotong roti tawar sebanding dengan sebutir peluru. Tak ada yang
bisa mengalahkan urusan perut. Kota kami yang elok bertetangga selama
ini, karut-marut oleh perkelahian. Dan celakanya, itu semua belum cukup,
penyakit aneh mendadak menjalar dengan cepat. Tubuh-tubuh lumpuh. Muka
pucat. Bibir membiru. Dan kematian!
Enam bulan sejak penyakit aneh itu tiba,
kota kami benar-benar tak-tertolong. Sepanjang hari hanya kidung sedih
yang terdengar. Nyanyian duka-cita. Pemakaman demi pemakaman. Bagaimana
dengan Fram dan istrinya? Jika di kota saja urusan ini pelik apalagi
bagi mereka. Enam bulan pertama mereka menghabiskan cadangan umbi-umbian
di gudang. Enam bulan berikutnya, dimulailah cerita memilukan penuh
pengorbanan tersebut. Fram terkena penyakit ganjil itu.
Tubuhnya membeku di atas ranjang. Tanpa
bisa digerakkan. Tinggallah istrinya yang kalut oleh banyak hal. Ia tahu
persis, sejak memutuskan menikah dengan Fram, bahwa tentu saja tidak
setiap hari janji kebahagiaan itu akan datang dalam kehidupan cinta
mereka. Ada kalanya masa getir tiba. Dan saat itu benar-benar terjadi,
tiba waktunya untuk menunjukkan betapa besar cinta itu. Bukan sekadar
omong-kosong.
Tak pernah terbayangkan tangan lembut itu
mengais-ngais tumpukan salju, berusaha menemukan sisa umbi-umbian yang
tersisa. Terseok mengumpulkan kayu bakar di hutan. Melubangi permukaan
danau mencoba peruntungan mendapatkan ikan. Memperbaiki atap rumah yang
rusak. Menambal dinding-dinding yang robek oleh badai salju.
Istri Fram berjanji akan bertahan hidup.
Dan semakin menyedihkan pemandangan itu,
karena setiap malam dia dengan sabar merawat suaminya yang terbaring
lumpuh di atas tikar. Menyuapinya dengan penuh kasih-sayang. Menggendong
tubuh suaminya yang semakin ringkih mendekati perapian. Membuang sisa
kotoran dari suaminya di atas ranjang. Memandikannya dengan air hangat.
Istri Fram bersumpah akan bertahan hidup, demi suaminya.
Dua belas bulan musim dingin itu tidak
menunjukkan tanda-tanda akan berbaik hati. Kerusuhan besar menjalar di
kota kami. Kecamuk orang-orang yang kelaparan dan sakit semakin
menjadi-jadi. Dan di tengah kota yang sekarat itu, seorang penziarah
entah dari mana datangnya singgah. Penziarah itu amat teganya mengatakan
kalimat yang paling tidak logis bagi penduduk kota, semua penyakit aneh ini hanya bisa disembuhkan dengan memakan: daging. Astaga, di mana lagi mereka akan menemukan daging hari ini? Seluruh ternak tak bersisa. Seluruh cadangan makanan tak berbekas.
Sementara Fram semakin menyedihkan.
Sehari kemudian tubuhnya mendadak kejang-kejang. Sekarat. Istrinya
panik. Malam itu juga sambil terseok-seok dia menggendong Fram menuju
kota. Meminta pertolongan tabib. Badai datang menghajar apa saja. Pohon
cemara bertumbangan. Istri Fram mendesis, menggigit bibir berusaha
melalui badai salju. Entah dari mana kekuatan itu, dia tiba di kota
keesokan harinya. Dengan tubuh biru. Kedinginan.
Sayang, tidak ada pertolongan yang
tersisa di kota. Tabib mengangkat bahu, menatap amat prihatinnya. “Aku
tidak tahu apa itu benar. Berikan suamimu sepotong daging! Semoga itu
menyembuhkannya!” Istri Fram sungguh menatap tak percaya. Kecewa. Sedih.
Setelah perjalanan melelahkan ini, ternyata hanya untuk mendengarkan
saran gila itu? Gemetar dengan sisa tenaga ia membawa Fram
kembali ke rumah tepi danau. Menyedihkan. Tubuh yang semakin
kurus-ringkih itu terhuyung, mencoba terus bertahan.
Jangankan daging, sepotong umbi-pun sudah
sulit didapat. Ia sudah membongkar seluruh bekas kebun suaminya. Tidak
ada. Kalaupun ada, sudah membusuk. Ikan-ikan di danau itu juga entah
pergi kemana. Istri Fram menangis. Menatap wajah suaminya yang semakin
sekarat. Ia tahu, se-sejati apapun cinta mereka, pastilah mengenal
perpisahan. Ia tahu sekali itu. Tapi ia ingin berpisah dengan suaminya
dalam sebuah pelukan yang indah. Saat satu-sama-lain bisa saling
menyebut nama. Bukan seperti ini. Malam itu suaminya benar-benar tidak
akan tertolong lagi. Istri Fram tersedu memeluk tubuh suaminya.
Tetapi, hei! Sudut matanya menangkap
seekor belibis hinggap di jendela. Belibis? Istri Fram menyeka ujung
matanya. Ganjil sekali. Bagaimana mungkin ada seekor belibis tersesat di
musim dingin seperti ini? Tapi ia tidak sempat memikirkannya. Dengan
gesit ia berusaha menangkap belibis tersebut. Jatuh bangun berkali-kali.
Mantelnya robek. Setengah jam berlalu, setelah mengerahkan sisa-sisa
tenaga tubuhnya, ia tersenyum lebar menjepit sayap belibis tersebut.
Malam itu, takdir langit di tepi danau
itu berubah. Sepotong daging yang masuk ke dalam perut Fram
mengembalikan kesehatannya. Malam itu, takdir langit di kota kami juga
berubah. Musim dingin berkepanjangan tersebut berakhir. Digantikan
semburat cahaya matahari pagi. Gumpalan salju mencair. Kecambah mekar
tak-terbilang. Tunas tumbuh menghijau. Janji kehidupan baru datang.
***
Tapi cerita yang lebih menyedihkan baru saja dimulai. Tidak ada yang tahu kalau seekor belibis itu memiliki pasangan.
Menurut keyakinan penduduk kota kami, dalam waktu tertentu, dewa-dewi
di surga turun menjejak bumi. Celakanya belibis itu turun di waktu dan
tempat yang salah.
Fram dan istrinya kembali ke keseharian
mereka dulu yang menyenangkan. Tubuh Fram kembali kekar. Dia
mengambil-alih tugas istrinya selama ini. Terlebih kaki istrinya pincang
sekarang, terpotong hingga pangkal betis. “Terkena pohon cemara yang
roboh. Membusuk. Jadi aku potong!” Istrinya menjelaskan. “Kau tetap
cantik meski pincang, istriku!” Fram bergurau riang. Istrinya bersemu
merah. Dan kebahagiaan mereka semakin lengkap saat enam bulan kemudian
istrinya hamil. Benar-benar kabar yang menyenangkan.
Saat kandungan istrinya menjejak tujuh bulan. Terjadilah peristiwa aneh itu. Fram yang sedang berburu rusa di hutan cemara, tidak-sengaja
melihat seekor belibis indah. Hei? Semangat Fram mengejarnya. Bukan
main, belibis itu benar-benar indah. Melupakan banyak keganjilan. Fram
berkali-kali jatuh mengejar belibis itu hingga ke tepi danau. Dan
terperanjatlah! Dia tidak menemukan seekor belibis yang sedang berenang,
tapi seorang wanita yang sedang mandi.
Apakah cinta sejati itu? Apakah ia sebentuk perasaan yang tidak bisa dibagi lagi? Apakah ia sejenis kata akhir
sebuah perasaan? Tidak akan bercabang? Tidak akan membelah diri lagi?
Titik? Penghabisan? Bukankah lazim seseorang jatuh-cinta lagi padahal
sebelumnya sudah berjuta kali bilang ke pasangan-pasangan lamanya: “Ia
adalah cinta sejatiku!”
Entah bagaimana caranya, Fram jatuh cinta
pada pandangan pertama dengan gadis belibis tersebut. Duhai! Celakalah
urusan ini! Jalan kisah menjadi berpilin menyakitkan. Bukannya
menghabiskan waktu bersama istrinya yang sedang hamil tua di rumah, Fram
malah lebih banyak duduk di tepi danau. Bercengkerama dengan gadis itu.
Di mata Fram, gadis itu sungguh
menyenangkan. Memesona. Pakaiannya indah berkemilauan. Perhiasannya
cemerlang. Wajahnya bagai guratan sempurna pematung tersohor. Tubuhnya
memikat. Fram benar-benar jatuh-cinta, tak pernah dia menyadari ternyata
cinta bisa sehebat ini.
Malangnya nasib istri Fram, seminggu
sudah suaminya tidak pulang-pulang. Ia hanya menunggu cemas di bawah
pintu. Sementara perutnya semakin membuncit. Dua minggu lagi bayinya
akan lahir. Di tengah putus-asanya menunggu, pagi itu, persis saat
cahaya matahari menerabas sela dedaunan pohon cemara, persis saat
bunga-bunga bermekaran di halaman pondok, istri Fram memutuskan mencari
suaminya.
Pencarian yang menyesakkan. Dengan
sepotong tongkat, istri Fram menopang tubuhnya yang kesusahan menyisir
hutan cemara. Dan lebih menyesakkan lagi saat ia akhirnya menemukan Fram
yang tergila-gila, sedang berdua dengan gadis cantik tersebut.
Tersungkurlah istri Fram! Lirih memanggil
suaminya. Duhai, Fram hanya melirik selintas, lantas menyuruhnya pergi.
Seperti tidak pernah mengenalnya.
Seperti tidak pernah mengenalnya.
Menangis istri Fram! Lemah berusaha
memeluk kaki suaminya. Duhai, Fram justru mengibaskannya. Membuat tubuh
dengan perut buncit itu jatuh terjungkal. Tongkat yang dibawanya
tak-sengaja mengenai kepala. Istri Fram mengaduh kesakitan. Meski ada
yang lebih sakit lagi di hatinya.
Di manakah janji cintanya? Di manakah?
Semuanya musnah. Benar-benar saat mereka sedang berbahagia menanti anak
pertama mereka. Istri Fram gemetar berusaha berdiri. Lirih memanggil
dewa-dewi di surga demi sebuah keadilan. Ia gemetar berdiri dengan
sebelah kakinya, pincang berusaha mencengkeram bebatuan.
Fram tidak peduli. Menarik tangan gadis
belibis, mengajaknya pergi menjauh. Tapi sebelum itu terjadi, dewa-dewi
di surga yang melihat kejadian itu turun ke bumi. Mengungkung tepi danau
dengan gemerlap mereka.
“Siapakah yang memanggil dan meminta penjelasan?”
“Aku….” Istri Fram menjawab lirih.
Dan menjadi teranglah urusan itu. Gadis
cantik itu adalah penjelmaan pasangan belibis yang tersesat di pondok
Fram dua tahun silam. Justeru gadis cantik itu menuntut keadilan. Istri
Fram tersedu mendengar tuntutan itu, dia tidak menyangka urusan berubah sedemikian rupa.
“Baik, yang terjadi, biarlah terjadi.
Maka biarlah Fram yang memutuskan masalah ini. Apakah ia akan memilihmu
atau memilih gadis belibis. Wahai, karena kau seorang manusia, dan gadis
belibis ini separuh dewa-dewi, maka kami akan memberikan kau tiga kali
kesempatan untuk menghilangkan kelebihan miliknya atau menambahkan
kelebihan milikmu. Setelah itu apakah Fram akan memilihmu atau gadis
belibis itu terserah padanya.”
Istri Fram menyeka air-matanya.
“Aku ingin seluruh sihir milik gadis ini dihilangkan!”
Cahaya yang mengungkung gadis belibis
mendadak lenyap. Pakaiannya kehilangan kemilau. Perhiasannya berubah
menjadi kerikil batu. Tetapi, duhai, tetap saja ia terlihat lebih cantik
dari siapapun di tempat itu. Tetap memesona. Fram dengan mudah
memutuskan memilih gadis belibis itu. Istri Fram mengeluh tertahan.
“Aku ingin seluruh sihir yang masih mengungkung suamiku dihilangkan!” Istri Fram menyebut kesempatan keduanya. Gentar sekali menunggu hasilnya.
Sekejap cahaya yang membalut tubuh Fram
sejak pertama kali dia melihat burung belibis itu menghilang. Sihir
pesona itu lenyap. Petani miskin itu tiba-tiba seperti baru tersadarkan.
Tetapi, wahai, apalah arti cinta sejati? Gadis belibis itu tetap
memesona meski sihirnya tidak lagi menutup mata dan membebalkan otaknya.
Fram sekali lagi tega memilih gadis belibis itu.
Istri Fram jatuh terduduk.
Oh…. Di manakah sisa-sisa janji cinta itu? Di manakah?
“Aku ingin Fram melihat janji kebahagiaan
yang diberikan oleh bayi yang kukandung!” Istri Fram berkata lirih.
Menyebut kesempatan ketiga sekaligus terakhirnya.
Siluet cahaya menggetarkan mengungkung
kepala Fram. Dia seperti menyaksikan visualisasi nyata masa-depan
mereka. Kehidupan yang menyenangkan di pondok dengan anak-anak mereka….
Taman bunga di tepi danau. Tetapi, apalah gunanya janji masa depan itu?
Fram mengibaskannya. Dia merasa memiliki janji kehidupan yang lebih
indah bersama gadis belibis ini…. Fram mendesis memilih gadis belibis.
Tersungkurlah istri Fram sekarang.
Menangis. Tiga kali kesempatan, habis sudah pengharapannya. Musnah. Tepi
danau itu senyap, hanya diisi oleh berlarik suara tangisan.
Fram meraih tangan gadis belibis di
sebelahnya. Mengajaknya pergi. Matanya benar-benar dibutakan oleh
tampilan. Tega sekali dia memberangus kehidupan bersama istrinya.
Dewa-dewi menghela nafas tertahan. Apapun hasilnya, semua sudah selesai.
Mereka beranjak hendak pergi. Saat itulah salah-seorang dewa-dewi itu
berkata lirih.
“Kenapa kau tidak menggunakan kesempatan terakhirmu untuk menunjukkan kejadian yang sebenarnya, wahai wanita yang malang.”
Wajah-wajah tertoleh. Seorang dewa yang amat cemerlang wajahnya terbang mendekati istri Fram.
“Kenapa kau justru menggunakan kesempatan terakhirmu untuk memperlihatkan janji masa depan?”
Istri Fram tersedu, menggeleng. Menyeka pipinya.
“Wahai wanita yang malang, kenapa kau
tidak meminta kami menunjukkan dengan nyata kejadian malam itu. Agar
suamimu melihatnya. Agar gadis belibis ini melihatnya.”
Istri Fram berkata lirih, tertahan, “Aku tidak ingin cintanya kembali karena dia merasa berhutang budi.”
Dewa dengan wajah cemerlang itu tertawa getir.
“Kau melakukannya karena cinta, wahai
wanita yang malang. Maka tidak ada hutang-budi. Ah, urusan ini
benar-benar menyakitkan! Amat menyakitkan!” Dewa itu menoleh ke arah
Fram, dengan tatapan menghinakan, ”Kau tidak pernah tahu mengapa istrimu
pincang, wahai pemuda yang sepatutnya dikasihani. Dan kau, gadis
belibis yang menyedihkan, kau tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi
dengan belibis pasanganmu. Biarlah hari ini seluruh dewa-dewi menjadi
saksi, dalam urusan cinta ini mereka yang berkuasa atas segenap urusan
ternyata sama sekali tidak kuasa untuk terlibat dalam urusan sesederhana
ini.”
Maka melesatlah dewa dengan wajah
cemerlang itu ke angkasa, menyusul dewa-dewi lainnya. Meninggalkan istri
Fram yang menangis tersungkur sendirian. Istri Fram yang hamil tua.
Istri Fram yang menyimpan kisah sesungguhnya apa yang terjadi malam itu,
ketika suaminya sekarat. Yang dia tidak ingin suaminya lihat. Hingga
merasa berhutang-budi.
Fram dan gadis belibis itu justeru sudah pergi segera.
***
Aku menghela nafas panjang. Pemakaman
semakin ramai oleh penziarah. Dua puluh tahun berlalu. Benar-benar
tidak ada lagi yang kukenali di kota ini. Semua sudah berubah.
Jangan pernah melakukan hal bodoh seperti Fram, si petani miskin.
Kalimat itu terngiang kembali. Aku tertunduk menatap pusara
Cindanita-ku. Mengusap batu besar yang mengukir namanya. Aku tidak
pernah melakukan hal bodoh itu, Putri Duyung Kecilku. Tapi Mama-mu melakukannya. Dan aku sungguh tidak tahu apakah itu sebuah kebodohan atau bukan.
“Mengertilah, Sam. Pernikahan kita sudah
selesai. Aku mencintainya. Aku seperti anak remaja yang jatuh cinta
lagi. Anak remaja yang pertama kali mengenal kata cinta!”
“Ya Tuhan, apa yang akan kau lakukan?”
“Aku akan pergi bersamanya.”
“Bagaimana dengan janji cinta kita?”
“Semua sudah berakhir, Sam. Biarkan aku
pergi! Aku lelah dengan kehidupan kota ini. Aku tidak akan pernah bisa
menggapai mimpiku. Aku lelah hanya bernyanyi di tengah pesta seadanya,
orang-orang biasa.”
“Bagaimana mungkin kau akan melakukannya? Bagaimana dengan masa-masa indah pernikahan kita?”
“Aku mencintai pemuda itu, Sam. Aku akan
pergi bersamanya, aku merasa muda lagi. Seperti gadis remaja yang
kasmaran, aku sungguh seperti menemukan cinta sejati…. Dia cinta
sejatiku, Sam!”
“Bagaimana dengan Cindanita.”
Suaraku hilang ditelan desau angin laut.
Sempurna hilang bersama dengan perginya Mama-mu, Sayang. Kau yang masih
berbilang enam bulan sungguh tidak beruntung. Papa-mu tertatih dengan
kehidupan baru. Sendiri. Tertatih dengan semua beban kehidupan, dan itu
semakin bertambah saat kau jatuh sakit dan tak pernah kunjung sembuh.
Maafkan aku, Cindanita-ku.
Aku menyeka ujung mata. Kupu-kupu
semakin banyak memenuhi pemakaman kota. Orang-orang semakin riang
bercengkerama. Tidak semuanya riang. Ada juga satu-dua yang sepertiku
menangis di depan pusara. Ada yang berpelukan haru satu-sama lain.
Bersama keluarga. Bersama anak-anak mereka. Aku tidak. Hari ini setelah
memutuskan pergi menjauh, aku kembali seorang diri.
Mendongak menatap ribuan siluet kuning. Jiwa-jiwa yang pergi kembali hari ini.
Persis seperti yang terjadi dengan istri Fram, petani miskin itu. Sejak
kejadian di tepi danau, tidak ada yang tahu kemana Fram dan gadis
belibis itu pergi menghilang. Juga tidak ada yang tahu kemana istrinya
yang hamil tua pergi. Yang penduduk kota tahu, persis setahun kemudian
setelah kejadian tersebut, dua ekor kupu-kupu kuning terbang mengunjungi
kota. Satu kupu-kupu besar dengan anaknya yang mungil.
Setahun berikutnya kupu-kupu itu
bertambah menjadi belasan. Setahun berikutnya puluhan. Setahun
berikutnya ratusan. Hingga ribuan seperti hari ini. Mereka kembali.
Aku menatap pucuk-pucuk pohon cemara.
Apakah cinta sejati itu? Istriku pergi
hanya karena ia lelah dengan kehidupan kecil kota kami. Menemukan pemuda
yang menjanjikan masa depan lebih baik. Pasangan-pasangan lain hari ini
juga berpisah karena alasan-alasan sepele. Bosan. Merasa terkekang.
Merasa pasangannya sudah berubah. Atau bahkan hanya karena alasan-alasan
yang dicari. Apakah itu cinta kalau kau setiap saat bisa jatuh cinta
lagi dengan gadis lain? Dengan pemuda lain?
Esok-lusa, alasan mereka berpisah akan
semakin sepele. Bahkan mungkin mereka tidak perlu alasan lagi untuk
berpisah. Padahal percayakah kalian, seminggu setelah berpisah dengan
pasangan lamanya, mereka akan menemukan pasangan baru. Buncah dengan
kata: “Kaulah cintaku!” “Aku belum pernah merasakan cinta sehebat ini.”
Dan berpuluh-puluh kalimat dusta lainnya. Terus saja begitu. Seperti
siklus yang berulang. Apakah cinta itu? Mungkin hanya istri Fram, si petani miskin yang bisa menjawabnya.
Kau ingin mendengar penjelasan
yang sesungguhnya di malam saat Fram sekarat, Cindanita-ku? Kau ingin
tahu? Baiklah, akan aku bisikkan, semoga setelah itu sama sepertiku dulu
kau akan tetap mempercayai adanya cinta, meski bisa jadi kau dalam
posisi yang tersakiti, anakku.
Aku memandang lemah seekor kupu-kupu
kuning yang terus hingga di ujung mantelku. Cahaya pagi mengambang
indah. Berlarik-larik menembus kabut memesona. Orang-orang semakin ramai
memenuhi pemakaman kota.
***
Lama sekali istri Fram memandangi
belibis di tangannya. Mendadak ia merasakan ada yang ganjil. Lihatlah,
mata belibis itu menyimpan perasaan takut kehilangan sesuatu. Cemas
berpisah dengan sesuatu. Istri Fram mengenali tatapan itu. Tatapan itu
sama seperti tatapan miliknya, tatapan yang amat takut kehilangan
suaminya. Takut berpisah dengan suaminya.
Fram semakin kejang. Melenguh tertahan.
Istri Fram gemetar mengambil pisau. Sekali lagi menatap mata belibis
dalam jepitan tangannya. Belibis ini pasti memiliki pasangan, sama
seperti dirinya yang memiliki pasangan. Tidak. Istri Fram berkata lirih.
Malam ini, jika sepotong daging itu akan mengobati suaminya, itu tidak
akan berasal dari belibis elok ini.
Biarlah dewa-dewi menjadi saksi, biarlah
semua ini menjadi bukti cinta sejatinya. Istri Fram sambil menggigit
bibir gemetar menebaskan pisau tajam. Bukan ke leher belibis, tapi ke
betis kakinya. Sempurna memotong. Malam itu, istri Fram memberikan
‘daging’ miliknya.
Dia melepas pergi belibis jelmaan itu.
Itulah yang terjadi. Malangnya, belibis jantan yang hendak kembali
terbang ke langit terjerambab di pecahan es danau. Mati tenggelam tanpa
seorang pun tahu, juga termasuk pasangan betinanya. Malam itu, istri
Fram telah membuktikan cinta sejatinya. Andaikata demi kesembuhan
suaminya ia harus memberikan jantungnya, maka itu pasti akan
diberikannya.
Hari ini, setiap tahun istri Fram
kembali. Kupu-kupu kuning yang memenuhi pemakaman kota. Kupu-kupu indah
yang terbang di sela-sela cahaya matahari pagi yang menembus dedaunan
pohon cemara. Mengambang. Memesona. Hari ini, istri Fram selalu
menunaikan janji cinta sejatinya. Dulu iya, sekarang masih, esok-lusa
pasti.
Aku juga akan selalu setia dengan janji cinta sejatiku.
Beristirahatlah dengan tenang, Cindanita-ku.
***
0 komentar:
Posting Komentar