Rabu, 02 Juli 2014

Cerpen Islami - Kampung Pindah

Posted by Blogger Name. Category:

Penulis : Indra Yogatama

Sore ini aku ada janji dengan mas Anam untuk ikut ngaji di tempatnya ustad Faqih.
“Mas Anam, ayo berangkat!” teriakku di depan rumah mas Anam.
“Sebentar aku ganti baju dulu,” balas mas Anam sedikit mengintip di depan pintu.
Kami pun berangkat dengan motor matik merah milik mas Anam.
Di tengah perjalanan, kami banyak mengobrol tentang sunnah-sunnah Rasulullah saw. di-era digital ini.
“Kita beda dari kebanyakan orang,” ucap mas Anam serius.
“kok bisa mas?”, dahiku mengkerut.
“Di zaman yang insya Allah sudah mendekati akhir ini, banyak orang yang telah meninggalkan sunnah-sunnah Rasul dan hanya sedikit yang masih berittiba’ (mencontoh) mengikuti Rasulullah saw.” Kata mas Anam sembari menyetir.
“bener mas,” jawabku sebagai pendengar.
“Dan kita adalah orang-orang yang masih berusaha berittiba’ kepada Rasulullah di tengah banyaknya orang-orang yang menyimpang dari ajaran Rasulullah, misalnya masalah bid’ah,” lanjut mas Anam.
“Bid’ah itu apa mas?” dahiku makin mengkerut.
“Bid’ah adalah hal-hal baru dalam masalah ibadah yang tidak diridhai Allah dan rasulullah,” jawab mas Anam.
“oh gitu mas, ada buktinya gak mas?” (makin mengkerut tuh dahi, tanya terus…!) .
“Ada, Rasulullah bersabda, ’siapa yang menghidupkan sunnah dari sunnah-sunnahku setelah matinya dan sepeninggalku, maka baginya pahala seperti mengerjakannya tanpa kurang sedikit pun, dan barang siapa yang menghidupkan bid’ah Dhalaalah (sesat) yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya, maka baginya dosa setiap yang mengerjakannya tanpa berkurang sedikitpun dari dosa-dosa manusia yang mengikutinya.’ Itu buktinya,” jelas mas Anam.
“Ga heran kalau dunia mau kiamat, lha umat islam udah banyak yang termakan oleh bid’ah.” Ucapku.
“Dan juga orang-orang yang masih berittiba’ dianggap aneh, asing, sesat dan sebagainya, padahal mereka yang tidak tahu atau tidak mau tahu dengan sunnah-sunnah Rasul yang jelas tertulis banyak pada hadist-hadist shahih,” Lanjut mas Anam.
“Ada buktinya juga gak mas?” tanyaku sambil menggaruk-garuk kepala meski gak gatal.
“Ada, Rasulullah bersabda, ‘Islam muncul pertama kali dalam keadaan terasing dan akan kembali terasing sebagaimana mulanya, maka berbahagialah orang-orang terasing tersebut.’ itu buktinya, hadist riwayat Imam Muslim,” jelas mas Anam.
“bener mas, kata ustadku juga seperti itu.” Sahutku.
“Jadi, kita harus siap, kuat dan sabar jika mendapat cemooh dan hinaan dari orang-orang di sekitar kita, demi mendapat nikmat abadi di surga-Nya yang jauh lebih nikmat dibandingkan nikmat dunia yang hanya sementara,” ucap mas Anam.
“Iya mas,” balasku sambil mengangguk-ngangguk.
“lebih baik susah di dunia dari pada nikmat di dunia susah di akhirat!” seru mas Anam.
“Iya mas, biarin orang-orang mau bilang apa, yang penting kita udah berusaha mempelajari Islam secara kaffah. Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 208 yang artinya, ‘Hai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam islam kaaffah (keseluruhan),” ucapku sembari ku pegang jaket mas Anam makin erat, sebab mas Anam bawa motornya ngebut.
Matahari mulai tenggelam dan sampailah kami di tempat ustad Faqih. Darul Hijrah (Kampung Pindah) namanya. Sebuah Pondok Pesantren yang sudah tidak aktif lagi sebab Kiyai besar telah lama meninggal. Kiyai Rahmat Arifin namanya. Salah satu muridnya adalah ustad Faqih yang sekaligus menantunya. Ustad Faqih masih aktif berdakwah untuk masyarakat setempat dan orang-orang yang mau ngaji, seperti aku dan mas Anam.
Waktu shalat maghrib pun tiba, kami shalat berjama’ah, dan ustad Faqih sebagi imamnya. Terasa kental sekali nuansa sunnah disini. Shaf-shaf lurus dan rapat. Seperti perintah Rasulullah, “Luruskan shaf-shaf kalian (sampai tiga kali), demi Allah benar-benar kalian luruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan menjadikan hati kalian berselisih.”
Meski pun begitu, terasa tidak ada risih sama sekali diantara kami. Terlepas kenal atau tidak. Karena dalam Islam sesama muslim itu bersaudara.
Banyak perbedaan yang ku rasa ini adalah Islam sesungguhnya. Islam yang benar-benar berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Disini shalat berjama’ah itu terasa nikmat, tenang dan kusyuk. Berbeda dengan shalat berjama’ah di Kampungku, udah shaf-shafnya gak beraturan, gerakkannya cepat pula (engguak eeenaak!!!). ibarat motor, pasti Yamaha. Komeng aja sampai segitunya. Gak kebayang gimana repotnya tiap kali shalat harus ganti sarung baru?!, pasti bakalan ribet bin repot. Mending enggak dech!, itu udah jelas gak tuma’ninah alias kusyuk alias tenang. Padahal tuma’ninah itu adalah salah-satu rukun shalat. Namanya juga rukun, ya pasti wajib dikerjakan. Gak habis pikir aku.
Dan seusai shalat berjama’ah dilanjutkan dengan shalat ba’diyah, kami ngaji bareng dan mendengarkan tausiyah dari ustad Faqih. “Kisah Rasulullah saat berdakwah di Tha’if, Beliau bersama Zaid bin Haritsah di cemooh dan dilempari batu oleh Bani Tsaqif (penduduk Tha’if). Sehingga kaki Rasulullah dan kepala Zaid bin Haritsah terkena lemparan batu hingga bercucuran darah. Namun dengan keikhlasan dan kesabaran, beliau tidak membalas gangguan dari orang-orang kafir Tsaqif itu, hingga akhirnya mereka menerima Dakwah Islam.” Kata ustad Faqih yang bersila di depan jama’ah. Suatu inspirasi pikirku. (IYT)
“JANGANLAH KAMU MERASA TAKUT DENGAN JALAN-JALAN KEBENARAN KARENA SEDIKIT PEMINATNYA, DAN JANGAN KAMU TERPEDAYA DENGAN BANYAKNYA ORANG-ORANG YANG AKAN BINASA”

0 komentar:

Posting Komentar

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Footer1

FOOTER 2

Footer 3