Posted by Blogger Name. Category:
cerpen Islami
Penulis : Ana Marieza Widiawati
Bau pagi yang khas menelusup masuk lewat jendela kayu kamar ku. Bau
embun mulai datang. Uh! Jatuh tepat di atas kelopak mata ku. Siapa lagi
kalau bukan ayah yang melakukannya. “Bangun anak manja, sekolah tak
menunggu kedatangan mu untuk memulai kegiatannya”, ucapnya dingin.
Sedingin air dalam bak mandi yang tak pernah hangat. Begitulah drama
pagi yang selalu terjadi setiap hari di rumah kami.
Setelah melahirkan aku, ibu sering sakit-sakitan. Akhirnya, ketika
umur ku baru menginjak sepuluh bulan, ibu meninggalkan kami berdua untuk
selamanya. Ayah yang pribadinya kaku dan dingin harus berusaha
merangkap menjadi sosok ibu. Meskipun susah bersikap lembut tapi
setidaknya ia berusaha menjadi orangtua yang baik bagi ku, mencukupi
segala kebutuhan ku dan melindungi putri semata wayangnya ini dari
bahaya kehidupan di luar rumah kami. Rumah kami yang dingin.
Ayah memberi ku nama ‘Anisa Wahid’. Guru ku di sekolah menengah
pertama pernah membahas arti nama-nama semua murid di kelasnya. Tidak
banyak, kelas ku isinya hanya 10 orang. Maklum desa ku terpencil,
kesadaran pentingnya pendidikan pun kurang. Aku gembira sekali saat
mengetahui arti dari nama ku, ‘Perempuan nomor satu’. Teman-teman di
kelas ku juga ikut tepukau. Hebat. Selama ini aku tak pernah menanyakan
hal itu pada ayah. Peduli saja tidak. Karena sehebat apapun nama ku,
tiap pagi ia akan tetap panggil aku dengan sebutan anak manja. Padahal
bermanja-manja dengannya saja tidak pernah. Ayah dingin. Aku malas.
Tapi aku penasaran. Aku ingin dengar dari mulut ayah sendiri tentang
nama yang diberikannya. Mungkin juga tentang harapan yang ia gantungkan
pada ku. Akhirnya sepulang dari sekolah hari itu, aku langsung menemui
ayah di toko kelontong miliknya di depan rumah. Tanpa ba-bi-bu lagi, aku
langsung menyergap ayah dengan pertanyaan tentang nama ku. Sepertinya
ayah agak bingung dengan pertanyaan yang sangat tiba-tiba tersebut. Ia
berpikir sejenak dan mulai membuka mulutnya. Jawabannya singkat, “Karena
ayah laki-laki dan kamu satu-satunya perempuan di rumah ini”. “Hanya
itu?!”, tanya ku agak keras. Sepertinya ayah kurang suka dengan nada
itu, ia pun kembali sibuk melayani konsumennya. Aku sebal jawaban ayah
tidak sesuai dengan apa yang guru ku katakan dan semakin sebal dengan
perlakuannya yang seperti tidak mempedulikan aku. Sebal!
Aku merasa selama ini kami seperti keluarga bisu. Bicara betul-betul
seperlunya. Berkeluh kesah pun aku bingung seperti apa. Kadang sepulang
aku dari sekolah, aku pergi ke makam ibu. Tak ada yang aku bicarakan
selain tentang ayah, ayah dan hanya ayah. Tapi apalah bedanya, makam pun
tak bisa bicara. Aku bosan. Akhirnya aku hanya memendam dan berdoa. Aku
yakin Tuhan akan memberikan jalan yang terbaik bagi kehidupan ku yang
dingin ini.
Aku tak tahu sampai kapan ayah akan bersikap dingin seperti itu. Tapi
apapun yang ayah perintahkan pasti segera ku laksanakan. Ayah suruh aku
bersihkan rumah, aku bersihkan rumah sampai benar-benar bersih. Ayah
suruh aku belanja ke pasar, aku cepat-cepat pergi ke pasar. Ayah suruh
aku belajar dengan baik, aku belajar dengan sangat-sangat baik. Bahkan
UN SMA ku tahun lalu mendapat nilai terbaik se-provinsi. Aku hanya anak
sederhana bukan anak yang suka menuntut orangtua minta ini dan itu.
Keinginan ku hanya satu, ayah melihat aku.
Sampai pada akhirnya aku berhasil memperoleh beasiswa di salah satu
universitas negeri ternama di pulau Jawa. Aku bahagia mendapat berita
tersebut sekaligus sedih harus meninggalkan ayah sendiri di rumah yang
dingin itu. Meskipun menyebalkan tapi hanya ayah lah satu-satunya yang
aku miliki di dunia ini. Dan ini kata-kata termanis yang pernah ayah
tuturkan sebelum ia kembali ke pulau kami yang sepi dan terpencil itu.
“Sampai desa, ayah akan jadi orang termiskin. Karena harta ayah
satu-satunya ada di sini”, ucapnya. Waw, mungkin kata-kata seperti ini
yang membuat ibu ku jatuh cinta pada ayah. Pantas ayah jarang bicara,
menurut ku kata-kata yang keluar dari mulutnya cukup berbahaya. Aku
hanya terharu dan tersipu mendengar ucapan ayah. “Berjalan lah nak.
Berjalan dengan yang maha satu. Karena-Nya lah kamu mampu menjadi
perempuan nomor satu”, tuturnya. Dan untuk pertama kalinya ayah memeluk
dan mencium kening anak semata wayangnya ini.
Aku merasa sangat bersyukur mendapat beasiswa di luar pulau. Kalau
bukan karena hal tersebut mungkin sampai saat ini aku masih belum bisa
merasakan peluk cium dari ayah. Aku rindu rumah yang dingin. Aku rindu
ayah.
0 komentar:
Posting Komentar