Posted by Blogger Name. Category:
cerpen Islami
Penulis:Lina Safinah
Semoga Bermanfaat buat kalian
Anak
Syafrie telah kembali, Hamid. Anak Syafrie telah pulang. Tengoklah, ini
Marwan. Dia telah menjadi dokter,†wajah Karim tampak berapi-api
menyambut kedatanganku dari Jakarta, ibukota NKRI. Sementara lelaki
berseragam loreng yang menyandang senjata di bahunya tampak tak terlalu
terkejut akan kehadiranku di markas mereka. Lelaki yang dipanggil Hamid
itu hanya mendehem dan memandangku tanpa kedip. Asap rokok mengepul dari
celah bibirnya. Kuperhatikan sosok lelaki itu dengan serius. Pantas
disebut komandan, kelihatannya cerdas dan dingin. Kuulurkan tanganku
untuk memperkenalkan diri sebagai anak almarhum Syafrie, anggota Gam
yang tewas bertahun lalu. Tentu aku punya motif untuk bergabung dengan
mereka, setidaknya menjadi teman. “Sudah berapa lama kau kembali ke
tanah rencong ini?†sang komandan tak tersenyum. “Sudah sebulan.
Lama juga aku mencari-cari kalian, sampai akhirnya aku bertemu Karim
yang membawaku ke tengah belantara ini,†kupandangi sekitarku, hanya
bangunan sederhana yang ditempati Hamid, dan beberapa lelaki bersenjata
berjaga-jaga. Tampaknya bukan markas inti, hanya sebuah tempat untuk
pertemuan biasa. Tentu saja mereka tidak gegabah membawaku ke sarangnya,
karena meskipun ayahku anggota Gam, aku toh orang asing di mata mereka.
“Lalu, untuk apa kau mencari kami?†Hamid tampaknya bukan lelaki
yang suka basa-basi. “Aku adalah anak Syafrie. Apakah kalian sudah
lupa? Bagaimana ayahku tertembak di halaman rumahnya sendiri. Aku tak
bisa lupa dengan peluru yang bersarang di dahinya itu,†suaraku
bergetar, untuk menggetarkan mereka. Lanjutku. “Kita kawan
seperjuangan, bukan? Dengan profesiku ini, semoga aku bisa diterima di
sini. Maksudku, tak secara resmi. Aku bertugas di Pidie. Namun apapun
kesulitan kalian, aku siap bantu.†Sang komandan manggut-manggut, tak
bersuara, asap rokok memenuhi ruangan sempit itu. Untunglah angin
bertiup cukup kencang dan banyak jendela di dinding-dinding bambu rumah
itu yang segera mengganti udara berpolusi dari mulut lelaki itu. Telah
dua minggu sejak perkenalanku dengan Hamid di tengah belantara. Dengan
Karim, aku masih sering berkomunikasi lewat telpon. Masih tak banyak
yang kuketahui tentang mereka. Sampai suatu malam Karim dengan dua orang
lelaki bersenjata menghadangku di tengah perjalanan pulang dari
puskesmas. “Marwan, tolonglah. Kita butuh bantuanmu. Ada teman kita
tertembak.†â€Ya, tunggulah sebentar. Aku harus mengambil alat-alat
medis.†Sejenak ketiga lelaki itu saling berpandangan, lalu Karim
bersuara, “Tidak. Kuantar kau lalu kita ke lokasi secepatnya.†Aku
menurut saja. Kubiarkan seorang dari mereka menumpang mobilku, sementara
dua lainnya mengikutiku dengan jeepnya. Setelah kukemasi perlengkapan
yang kubutuhkan, kami berempat berangkat menembus pekat malam, menuju
sebuah tempat di mana tengah berbaring satu anggota Gam yang hampir
kehabisan darah karena luka tembak di bahunya. Kutolong lelaki itu
sebisaku. Pasien pertama, tak boleh gagal. Atau mereka akan mendepakku.
Sulit memperoleh kepercayaan dari mereka, walau aku rasa telah punya
modal cukup, sebagai anak Syafie. Dan lelaki itu selamat, sang komandan
menjabat tanganku, “Terima kasih, Nak.†“Ah, sudah kewajiban saya
menolong sesama…pejuang!†kutekan kata ‘pejuang’ itu, untuk
meyakinkan sang komandan. Begitu lamban mereka menerimaku. Sejak
kejadian malam itu, susulan demi susulan kian sering kuterima. Mulai
dari yang berpenyakit flu biasa sampai kaki remuk tak berbentuk yang
harus diamputasi mereka percayakan padaku. Aku rasa, inilah saatnya
kujalani profesiku. “Handphone metalikku berdering. Dari ‘kawan
seperjuangan’, begitu mereka menyebut hubunganku dengan Gam itu
sekarang. Sebuah sanjungan yang kuperoleh dengan susah payah. Ada apa
pula ini? “Kawan kita butuh pertolongan, Dok,†rupanya sang komandan
sendiri yang menghubungiku. Satu langkah maju. “Baik, apa yang
dibutuhkan? Aku akan segera datang.†Komandan menyebutkan keperluannya
dan lokasi kejadian. Usus buntu lagi! Kukemasi alat-alat operasiku.
Saat tiba di tempat, kutemui lelaki usia tiga puluhan yang terbaring
dengan merintih. Lelaki dalam daftar penting. Aku tak akan buang waktu.
Setelah kubius, kuiris bagian bawah kanan perutnya, lantas kupotong
appendix yang tampak sudah meradang itu. Kemudian, kumasukkan
‘cairan’ itu, kujahit kembali luka sayatan yang kubuat tadi, dan
selang lima menit kemudian lelaki itu menghembuskan nafasnya yang
terakhir. “Maaf, kawan. Aku telah berusaha, tapi rupanya Tuhan
berkehendak lain,†wajahku telah terlatih untuk memainkan peranan ini.
Wajah setengah iba yang dingin. Sang komandang tertunduk sejenak, lalu
menatapku tanpa kata sementara tanggannya menepuk-nepuk bahuku. “Dia
yang terbaik yang kami miliki,†ucapnya putus asa. Lalu berlalu
meninggalkanku yang terpaku di ujung bale-bale. Seminggu setelah
kematian lelaki di meja operasiku itu, handphone metalikku tak pernah
berdering. Aku mencoba menghubungi Karim dan Pocut, tapi mereka tak ada
di tempat biasanya. Handphonnya pun tidak aktif. Jangan-jangan mereka
tak percaya lagi padaku. Atau lebih gawat lagi, mereka hendak
menghukumku. Tok…tok…tok…pintu rumahku diketuk. Kubukakan pintu.
Ah, Pocut! “Dokter Marwan, kita butuh bantumu, kawan kita…â€
syukurlah! “Sebentar, duduklah dulu. Aku ambil peralatanku,â€
kugandeng lengan Pocut menuju krusi rotan di ruang tamuku yang sudah
tua, lantas aku bergegas ke kamarku sendiri. Kuraih botol infus dan tas
kerjaku, kukantongi HP metalikku. Masih sempat aku mengadakan kontak
dengan siemens hitamku sebelum akhirnya kunonaktifkan, kuambil nomor
khususku dari Hp hitamku itu untuk kubawa dan siemens kosong itu
kuletakkan di balik lipatan baju-baju, lantas kukunci lemari. Kujumpai
Pocut di ruang tamu untuk segera bergegas menemui pasienku. Anggota Gam
yang satu ini hanya sesak nafas. Penyakit asma. “Kenapa baru sekarang
kau panggil aku, Pocut? Keadaannya sudah payah. Aku kuatir tak akan
tertolong,†kumasukkan jarum infus ke lengannya, dan air murni itu
akan memasuki nadinya. “Aku pulang dulu. Kabari aku kalau keadaannya
tambah parah! Tampak beberapa orang bersenjata lalu-lalang di depan
rumah besar yang kukira salah satu markas mereka itu. Kuhitung jumlah
mereka, kira-kira duapuluh orang. melihat keadaan rumah itu, tampkanya
mereka tinggal di situ. “Sofyan yang akan mengantarmu,†Pocut
melambaikan tangan ke arah lelaki berkumis lebat yang berdiri di dekat
pintu memanggul AK-47. “Tidak usahlah, Pocut. Aku pulang sendiri saja.
Toh aku bawa kendaraan. Lagipula aku hafal jalannya, masih siang
lagi.†“Oke, selamat jalan, Dok. Terima kasih atas bantuannya,â€
Pocut menjabat tanganku erat. Kustater mobilku, lalu kutinggalkan markas
tu melalui jalan berbatu-batu yang tak rata. Di tengah perjalanan
pulang, kuraih HP Metalik dari sakuku, kuganti dengan nomor khususku,
kutekan sebuah nomor penting. Dua jam kemudian aku tiba di rumah. Aku
masuk ke dalam kamar, kembali mengaktifkan siemens hitamku, tak lama Hp
itu berdering. Menjelang malam Hp metalikku berbunyi. Pocut. “Marwan,
ada kabar buruk. Kawan-kawan seperjuangan kita telah gugur.†“Apa
maksudmu? Siapa yang mati?†“Pasienmu tadi siang tak tertolong. Dia
meninggal tak lama sesudah kau pulang.†“Kenapa tak kau hubungi aku?
Aku tadi kan sudah pesan agar memanggilku kalau keadaannya tambah
parah.†“Tadinya kami hendak menghubungimu, tapi kami pikir tak ada
gunanya lagi. Toh dia sudah tiada. Namun ada yang lebih buruk lagi.
Menjelang asar tempat kami diserang.†“Diserang? Siapa? Apa
maksudmu?†“TNI! Hanya lima orang yang berhasil melarikan diri dan
selamat. Lainnya gugur.†“Ah…†aku mendesah, “Aku menyesal
sekali, Pocut. Di mana kau?†“Maaf, tak bisa kukatakan padamu. Tapi
aku akan menghubungimu lagi. Assalamualaikum…†“Pocut…pocut…di
mana lokasimu?†Pocut telah memutuskan hubungan. Sial! Selama
beberapa hari aku hanya menunggu. Aksesku pada Gam tinggal Pocut dan
Asrul. Karim sudah tewas dalam serangan itu. Juga Soleh, Hanif, dan
Aslam. Semuanya tewas dalam serangan-serangan TNI ke markas-markas Gam.
Tiga hari berlalu. Aku duduk di ruang kerjaku di puskesmas. Tak ada
pasien. Aku terus berusaha menghubungi Pocut, Asrul. Tak ada hasil.
Semua mandeg. Tak ada peristiwa apapun. Kemana orang-orang itu? Sudah
kudatangi lokasi-lokasi yang berbeda, di mana mereka biasanya bermarkas.
Tak ada yang tertinggal. Tiba-tiba sebuah truk mengangkut pasukan Gam
memasuki halaman puskesmas. Refleks, kutekan sebuah nomor yang sudah
kuhafal. Terdengar nada panggil. Ayo, cepatlah angkat! Lalu sebuah suara
yang tak asing di telingaku. “Mereka sedang menuju kemari. Satu truk,
perkiraan berisi sekitar dua puluh orang, mungkin mau menjemput
saya,†segera kumatikan Siemens hitamku, kumasukkan ke laci kerjaku,
dan kukunci. Klik. Tepat saat kumasukkan anak kunci ke dalam saku,
lelaki-lelaki tegap bersenjata itu memasuki ruang praktekku. “Dokter
Marwan, Anda ikut kami. Wakil panglima butuh pertolongan,†dan aku pun
ikut menumpang truk itu. Hanya akulah satu-satunya yang berbaju putih
di antara dua puluh lelaki berseragam hijau tentara. Perjalanan sekitar 2
jam memasuki belukar belantara dan jalan-jalan terjal berliku. Kalau
saja aku hanya dokter biasa yang tak terlatih, pasti sudah mual.
Akhirnya, tibalah aku di sebuah lapangan. Jadi inilah tempatnya. Lalu
truk berhenti. Kami semua turun, dan melanjutkan dengan jalan kaki
sekitar setengah jam sebelum akhirnya sampai di tempat wakil panglima
berbaring. Dia tampak lemah. Peluru di punggungnya. Kuambil tindakan
sesuai prosedur. Satu jam setelah kutangani, lelaki itu tewas. Aku dalam
perjalanan kembali ke puskesmas, ditemani Asrul. “Aku sampai di sini
saja, kawan kau lanjutkan sendiri perjalanan ini,†Asrul menurunkanku
di tepi jalan raya. “Ya. Selamat berjuang,†kulambaikan tanganku
pada Asrul dan segera kembali ke Puskesmas, mengaktifkan siemens
hitamku. “Lokasi sudah saya dapatkan,†lantas suara di seberang
memberikan instruksi setelah kubeberkan temuanku. *** Aku baru saja
mematikan laptopku usai mengirim laporan rutin. Ini adalah malam
terakhirku di tanah rencong. Besok selesai sudah tugasku. Aku akan
kembali ke Jakarta. Ibu! Tiba-tiba bayangan wanita itu melintasi
benakku. Aku teringat pada malam saat aku berkemas hendak berangkat ke
Aceh, ibuku serta-merta masuk ke kamarku, membawakan teh hangat.
“Kenapa tidak Ibu taruh di meja makan saja?†ibuku tak menjawab,
malah sepertinya tak mendengar ucapanku. “Apa yang kau kerjakan,
Marwan?†“Apa maksud Ibu?†kupandangi wanita itu, mencoba mencari
tahu maksud pertanyaannya. Tiba-tiba matanya tak berkedip, menembus
jantungku. “Apa pekerjaanmu?†“Aku kan kerja di puskesmas, Bu. Aku
dokter,†suaraku berpeluh. “Kau lulus fakultas kedokteran, ya. Ibu
tahu. Kau akan PTT, Ibu tahu. Lalu kau masuk akademi militer setelah
jadi dokter, dan kini sudah jadi tentara, lantas mau ke Aceh, mau apa?
Mau jadi ‘cuak’? Lantas membunuhi orang-orang aceh,
saudara-saudaramu, ha!?†Kali ini aku tak punya nyali untuk menatap
mata Ibu. Suara Ibu seperti pedang! Dan tatapannya selaksa lecutan
halilintar. Namun kucoba sekuat tenaga untuk mengendalikan diriku.
“Aku akan PTT, Bu. Aku kerja di puskemas. Jabatanku di TNI tak ada
hubungannya dengan kemelut di Aceh. Aku di bagian kesehatan,†kalimat
terakhirku adalah kebohongan. Sebab Ibu tak perlu tahu tentang profesi
intelijenku. Dan, sulit pula menjelaskan motivasiku ini. Sungguh tak
masuk akal seorang anak yang bapaknya ditembak oleh tentara kini malah
menjadi intel TNI, musuh keluarganya. Bagaimana harus menjelaskan pada
Ibu bahwa aku telah tahu banyak tentang Gam yang bermarkas di Norsborg,
Swedia itu. Bagaimana mereka bekerjasama dengan RMS dan Fretilin dalam
wadah UNPO di Den Haag. Bagaimana mereka telah membunuhi ulama yang
berseberangan dan menolak memfatwakan jihad. Sulit mengatakan
keinsyafanku bahwa memberontak pada penguasa muslim itu adalah sebuah
kekeliruan. Membeberkan skenario CIA membelah Indonesia menjadi 14
negara bagian. Menjelaskan bahwa Gam yang kini berjuang atas dasar
etnonasionalisme tidaklah sama dengan perjuangan Tengku Beureuh ketika
mengangkat senjata melawan Soekarno. Perjuangan mereka telah menyimpang.
Perampokan, kekerasan pada etnis Jawa walau muslim sekalipun,
pembunuhan, pembakaran, seperti kata salah seorang tokoh, mereka telah
keluar dari syariat. Tapi wanita ini tak akan mengerti. Yang ia tahu
suaminya telah ditembak oleh TNI. Bertahun setelah itu ia harus
membanting tulang membiayai anak-anaknya. Hidup yang tidak mudah.
Lantas, bagaimana dia bisa memahami kalau anaknya yang telah
dibesarkannya itu telah menjadi ‘penghianat’? Ya, Allah, berilah ia
petunjuk. Hanya doa itu yang senantiasa kupanjatkan di tiap sujudku
karena aku tak mampu menanggung amarahnya, sakit hatinya. Wanita tua
yang sudah terlalu lama menderita. Sampai kapan tanah Aceh akan
bergolak? Kuteringat mata letih ibuku, mata yang sudah terlalu lama tak
menangis. Kuteringat saat mencium punggung tangannya waktu hendak
berpamitan untuk membunuhi orang-orang Aceh. ‘Saudara’, kata Ibu.
Namun dalam hal ini aku tak sepaham dengan Ibu tentang makna saudara. Andai saja aku punya kuasa untuk mendamaikan tanah
kelahiranku itu, menumpas habis akar permasalahannya. Andai saja aku
punya wewenang. Kenyataannya, harapanku tersendat oleh tangan-tangan
kotor yang masih ingin memelihara konflik karena ada
keuntungan-keuntungan tertentu. Kukemasi barang-barangku. Besok siang
aku sudah harus ada di bandara. Markas Gam sudah terkepung. Tak ada
peluang untuk lolos. Barangkali hanya perlu dua jam saja untuk
menghabisi mereka. Tapi tak juga terjadi apa-apa. Kelihatannya, masih
ada yang berkepentingan dengan konflik yang tak juga berakhir ini. Jam
sepuluh malam. Aku masih punya satu persoalan. Kuraih pistol, kustater
mobilku menuju rumah seorang pejabat teras. Sepanjang jalan otakku
berperang dengan hatiku. Aku bisa saja masuk ke rumahnya dengan gampang
baik lewat pintu depan atau dengan menyusup. Kuhentikan mobilku di depan
halaman luas sebuah rumah mewah. Bayangan lelaki setengah baya penghuni
rumah itu memenuhi kepalaku. Koruptor! Bagaimana ia tega mengantongi
ratusan juta tupiah, dana kesehatan untuk rakyat miskin. Puskesmas hanya
diberi sekian juta. Geram sekali aku. Akan kuledakkan kepalanya! Di
mana nuraninya? Ini daerah konflik! Tak habis pikir aku, padahal dia
orang Aceh juga. Lama aku terpekur, antara maju dan mundur. Ini tindakan
melawan hukum, dan di luar wewenangku. Kubalikkan mobilku setelah aku
merasa letih dengan semua ini. Biarlah Allah yang membereskan urusan
lelaki itu, dan tanah Aceh ini. Aku akan pulang besok siang, sesuai
jadwal dan prosedur. Aku, Marwan, pria lajang berusia 28 tahun, dengan
profesi dokter umum merangkap intelijen Angkatan Darat TNI, hari ini
telah selesai menjalankan tugas di tanah kelahiranku, Aceh. Keterangan:
Cuak: mata-mata.
0 komentar:
Posting Komentar