Kutukan Kecantikan Miss X
Aku menuangkan dua sachet sekaligus gula
rendah kalori ke dalam gelas plastik medium size di hadapanku, lantas
mengaduknya perlahan-lahan hingga sempurna bercampur dengan aroma teh
yang menyengat. Arloji di tangan menunjukkan pukul tujuh seperempat.
Memang masih terlalu pagi untuk ukuran kelaziman, duduk sarapan di salah
satu kedai fast food yang banyak berjejer diantara toko-toko souvenir
di pelataran ruang tunggu ini.
Musim penghujan membuat suasana hati
terasa dingin dan lengang. Tapi sepagi dan sedingin ini, aktivitas
bandara telah terlihat begitu sibukmencengangkan. Tak pernah
terbayangkan kapasitas dua puluh juta penumpang per tahun itu harus
segera ditambah karena semakin merakyatnya angkutan udara.
Pesawat dari Frankurt yang membawa Bagus,
sahabat dekatku, baru akan tiba tepat satu jam lagi. Waktu yang sangat
lama untuk menunggu, lagi-lagi menurut ukuran kebiasaanku. Tapi tak
mengapa, sebenarnya aku memang membutuhkan suasana ini sebelum bertemu
dengannya. Ada banyak hal yang bisa diingat dengan nyaman selama satu
jam ini. Barusan, dengan hanya melihat kembali fotonya yang tertawa
lebar sambil memeluk istrinya yang menggendong bayi mereka, sepuluh
menit menunggu pramusaji mengantarkan teh dan sepiring donut berlalu
seperti angin lembut menyenangkan. Bagus mengirimkan foto itu sebagai
attachment email terakhirnya minggu lalu, dan aku segera mencetaknya di
atas kertas terbaik dengan setting kualitas super printer foto
tercanggih milikku.
Ia bercerita soal kedatangannya ke kota
kami, salah satu kota terindah di dunia. Istrinya, Anna yang seratus
persen asli Jerman sebenarnya memang sudah lama mendesak untuk
berkunjung, “Ia bilang ingin sungkeman dengan mertuanya, tapi aku tahu
ia sebenarnya ingin sekalian plesir,” tergelak Bagus menceritakannya
dalam email enam bulan lalu. Dan sekarang kebetulan dalam suasana tahun
baru, mereka bisa mengambil cuti akhir tahun yang cukup panjang.
Apalagi Anton, bayi mereka sudah berumur
setahun lebih, sudah tidak terlalu merepotkan lagi untuk diajak terbang
berjam-jam melintasi benua.
Aku pertama kali mengenal Bagus
sebenarnya dalam situasi yang tidak menyenangkan, sepuluh tahun silam.
Saat itu kami sama-sama sedang teraniaya di “ruang dosa” ospek kampus
baruku, dan dalam suasana seperti itu orang-orang senasib seperti kami
dengan segera bisa menjadi sahabat baik. Meskipun berbeda fakultas
dengan jarak gedung kelas berjauhan, bisa dibilang hampir setiap hari
kami bertemu, karena ternyata aku dan Bagus tinggal di rumah pondokan
yang sama. Hingga lulus dan kemudian bekerja, kami memutuskan untuk
tetap “menetap” di tempat tersebut.
Tak pelak lagi, setiap malam adalah
malam-malam percakapan, perdebatan, hingga curhat dan saling
olokmengolok. Awalnya topik pembicaraan kami hanya berkisar soal
kesibukan kuliah, aktivitas kampus, hobi masing-masing atau permasalahan
ringan lainnya.
Semakin ke sini, filosofi kehidupan,
perjalanan percintaan, cita-cita hidup dan topik yang lebih berat serta
beragam lainnya mulai bermunculan.
Bagus adalah teman terbaik dalam
berdiskusi. Ia adalah pendengar yang baik, walaupun bisa dibilang selama
ini akulah yang banyak mengambil inisiatif obrolan atau menceritakan
masalah. Ia sangat terlatih untuk mencari solusi dalam segala persoalan,
kecuali yang satu itu: soal wanita.
***
Aku ingat sekali, malam itu jam sembilan
kurang seperempat, laiknya serdadu perang tanpa salam apalagi ketuk
pintu, Bagus menyerbu masuk ke dalam kamarku.
“Cantik, cantik banget, Rik!” ia bahkan
belum sempat melepas kaos kaki dan pakaian necis kerjanya seharian ini.
Aku yang sudah sepuluh menit terpekur di hadapan laptopku, buntu mencari
ide tulisan, menoleh dan menanggapi dengan ekspresi seadanya.
“Siapa?”
“Lu gak bakalan percaya. Lu tahu kan,
hari ini gue dipindah ke HQ Sudirman, jadi tadi pagi gue naik bus 102.
Lu tau apa yang gue temukan? Cewek, man. Gile! Sebelas dari nol sampai
sepuluh,” aku merasa antusias Bagus membuat air mukanya terlihat
bercahaya.
Dengan sigap ia menjulurkan sepuluh
jarinya,tentu saja bukan sebelas. Aku tersenyum, menutup laptop. Saatnya
sekarang untuk membalas kebaikan yang selama ini sering ia lakukan
untukku. Menjadi pendengar yang baik.
Miss X, begitulah nama gadis itu. Ini
kata Bagus di hari ke sepuluh semenjak malam ia menceritakannya untuk
pertama kalinya. Tentu, aku yakin nama aslinya tak sependek itu, tapi
karena hingga hari itu, ia belum berani juga menegurnya, apalagi
bertanya soal namanya, maka untuk mempermudah penyebutan terpaksa kami
menggunakan nama itu di percakapan rutin malam.
Berambut sebahu, lurus bagai
di-rebonding, hitam legam bercahaya. Matanya tajam dan indah dengan alis
yang sempurna. Hidungnya elok dan proporsional. Bibirnya mungil merekah
bagai buah merah delima. Kulitnya putih mulus berseri, dan ia memiliki
tahi lalat kecil di dagunya yang belah, membuatnya berpadu semakin
aduhai dengan lesung pipitnya. Gadis ini selalu mengenakan blouse warna
gelap dengan rok di bawah lutut yang sewarna. Dan selalu duduk di kursi
dekat jendela kiri baris dua bus patas AC tersebut.
Deskripsi yang sangat baik untuk ukuran
seseorang yang hanya sempat melirik selintas ketika melewatinya menuju
kursi bagian belakang bus yang masih kosong. Akan tetapi jangan tanya
soal tinggi tubuhnya dan parfum yang dipakainya, Bagus belum pernah
melihatnya berdiri, karena ia turun lebih dulu dibandingkan gadis itu,
dan ia juga belum pernah berkesempatan duduk di dekatnya, karena tempat
duduk bagian depan biasanya sudah terisi penuh setiba di halte kampus.
Meski aku tidak terlalu percaya dengan
deskripsinya, masak iya ada cewek secantik itu, aku membesarkan hatinya
dengan cerita-cerita percintaanku selama ini yang mengharu biru, tentang
perasaanku ketika aku jatuh cinta pada pandangan pertama, walaupun di
sana-sini lebih banyak olokolok yang kulemparkan padanya, karena
sebenarnya aku selalu jatuh cinta pada pandangan pertama dengan
gadis-gadis cantik yang kukenal.
Dan Bagus menerimanya seperti anak kecil
yang begitu senang didongengkan tentang sebuah epik. Nampaknya prospek
topik pembicaraan malam kami satu bulan ke depan tidak akan bergeser
dari isu Miss X ini, dan sialnya menilik keberanian Bagus selama ini
serta dari cerita-ceritanya aku pesimis dengan sebuah kemajuan yang
berarti dalam waktu dekat.
Akan tetapi diakhir bulan, ternyata Bagus menceritakan sebuah perkembangan baru.
“Lu tau gak Rik, tadi pagi gue berangkat jam enam pagi?”
“Tahu, kamar lu udah sepi pas gue berangkat. Memangnya lu di pindah ke cabang jauh sana?”
“Tetap HQ, fren. Gue tadi pagi nggak nyetop bus di halte kampus. Gue ke terminal dulu”
“Loh bukannya nggak praktis seperti yang
lu sering ceramah-in ke gue?” Aku malas sebenarnya mengajukan pertanyaan
ini, karena sebenarnya aku tahu persis alasannya kenapa ia tiba-tiba
memilih untuk berangkat lebih pagi, dan “membakar” setengah jam waktu
paginya yang berharga, sesuatu yang amat dibencinya selama ini.
Apalagi kalau bukan soal Miss X. Menunggu
di terminal dan mencari kesempatan untuk duduk di sampingnya saat ia
naik bus adalah strategi lumrah yang biasa aku lakukan selama ini untuk
mencari cara berkenalan dengan wanita-wanita komuter, ini istilahku
untuk wanita teman satu busku. Sayangnya ketika aku bertanya apakah ia
akhirnya berhasil duduk di sebelah Miss X.
“Gue nggak berani, Rik,” jawab Bagus mengenaskan.
Bah!
***
Aku salah besar.
Topik pembicaraan ini ternyata menguasai
dengan sempurna malam-malam diskusi kami di kost-kostan selama enam
bulan berikutnya. Tiga bulan pertama sebenarnya masih mengasyikkan
mendengar kepolosan Bagus menceritakan perasaannya yang galau, lantas
aku memperolok-oloknya. Akan tetapi lama-kelamaan aku kehilangan
kesabaran dan selera bermain-main lagi.
Untuk ukuran kelazimanku, tingkah laku
Bagus soal yang satu ini sangat memalukan. Aku bisa menerima alasan
bahwa memang tidak mudah untuk menjalin hubungan dengan seorang gadis
yang cantik, apalagi itu cinta pertama. Akan tetapi fakta bahwa ia
menyadari sangat menyukai Miss X, dan berkali-kali berkata, “Tak bisa
hidup tanpanya, Rik” ternyata tidak mampu membuatnya untuk membuat
kemajuan yang berarti, selain menceritakan hal yang itu-itu saja
(kecuali soal tinggi Miss X yang 160 cm, kurang lebih sedagunya—Bagus
akhirnya memutuskan untuk membuntutinya hingga ia turun di salah satu
halte jalan Thamrin) membuatku jengkel setengah mati.
Aku kehilangan kesabaran atas
kepengecutannya. Dan lebih gemas lagi ketika ia mencoba mencari-cari
alasan untuk menjelaskan kepengecutannya itu. Capai sudah aku
menceramahinya soal Tania, macan kampus yang dulu aku taklukan dengan
nekad berdiri di depan rumahnya berhari-hari, atau Dewi anak kost-kostan
seberang rumah yang kupikat dengan pura-pura menyukai serial teleivisi
Friends lantas mendapatkan alasan untuk meminjam koleksi DVD original
miliknya. Belum lagi gadis-gadis lain yang pernah menjadi pacarku selama
ini yang sebenarnya belum pernah kuceritakan ke orang lain. Tak kurang
pula berpuluhpuluh buku referensi soal beginian kulemparkan ke kamarnya.
Bulan depan, genap setahun malamku
dihabiskan untuk membahas Miss X. Dan ketika aku dicemaskan kemungkinan
setahun penuh ini malam-malamku mubazir dihabiskan hanya menjadi
pendengar yang baik, malam itu Bagus datang ke kamarku, membahas soal
lain. Minggu depan ia akan tugas belajar ke Jerman. Aku tercengang,
bukan karena surprise terbebaskan dari topik yang selama ini
menjengkelkanku, tapi lebih karena teramat mendadak.
“Nggak juga sih Rik, sebenarnya sudah
hampir enam bulan ini gue merencanakannya. Tapi, selama ini gue emang
nggak sempat cerita ke lu,”
Bah! Tentu saja tidak akan pernah sempat.
***
Semenjak itu, pembicaraan kami soal Miss X
tutup buku. Benar-benar tutup buku. Bagus bahkan tak pernah membahasnya
dalam email-email yang dikirimkannya setelah ia benar-benar berangkat
ke Jerman. Hanya ada satu email yang sempat menyinggung soal Miss X ini,
dan itu dikirimkannya ketika ia mulai mengenal Anna sebagai partner
risetnya di universitas Jerman enam bulan setelah ia berada di sana.
“Rik, setelah gue pikir-pikir, gue rasa
gue bukanlah cowok pengecut seperti yang selama ini lu olok-olokkan.
Buktinya sekarang gue dengan mudah bisa mengenal dan dekat dengan Anna.
Semuanya berjalan begitu lancar, gue sendiri nggak pernah merasa perlu
menggunakan tips-tips dari lu.
“Tapi kenapa waktu itu sangat sulit ya???
Gue juga nggak tahu persis kenapa. Mungkin gue pikir dialah yang
menjadi masalahnya. Sosoknya terlalu kuat, fren, terlalu mempesona,
membuat gue begitu terdeterminasi. Rik, gue berani bertaruh: semua pria
yang pernah mengenalnya dan memiliki perasaan suka dengannya juga
mengalami kejadian seperti gue. Mungkin dia adalah kutukan yang sempurna
atas sebuah kecantikan.”
Aku tersenyum sambil nyengir hambar sekaligus getir.
***
Sekarang pukul delapan lewat dua puluh
lima menit. Cangkir tehku yang kedua juga sudah habis. Pesawat yang
membawa sahabat baikku sepuluh menit lalu sudah mendarat. Dan sekarang
pasti Bagus sedang menggandeng istrinya sambil mendorong kereta bayinya
menyelusuri lorong-lorong bandara. Aku berdiri beranjak meninggalkan
kedai fast food. Kuletakkan selembar uang dua puluh ribuan sebagai tips
di atas meja. Hari ini aku sedang ingin berbagi kebaikan.
Apa yang pertama kali akan kulakukan?
Tersenyum lepas menyapa dan memelukya? Sekadar bersalaman menanyakan
kabar? Atau mengungkapkan segala kejadian yang ia tidak ketahui setelah
ia pergi ke Jerman? Tiba-tiba aku berdiri dengan sebuah perasaan yang
tak kukenali lagi di depan pintu keluar penumpang itu.
Ah, seandainya Bagus tahu, hari ini tepat
dua tahun lamanya aku juga tersiksa. Seandainya ia tahu apa yang telah
terjadi sehari setelah aku mengantar kepergiannya di bandara waktu itu.
Aku begitu terpukul melihat air mukanya
yang sangat kecewa saat itu, dan satu-satunya penyebab kekecewaan itu
apalagi kalau bukan persoalan Miss X. Kesedihan itu semakin dalam karena
Bagus tidak pernah lagi berkata-kata soal ini selama seminggu sebelum
keberangkatannya, benarlah kata orang terkadang sembilu lebih tajam
tanpa dihujamkan, dan karena itulah aku tiba-tiba menjadi begitu benci,
begitu dendam pada gadis itu. Aku memutuskan untuk menemuinya di atas
bus patas AC 102 pagi hari kemudian. Harus ada “perhitungan” berarti
dengannya.
Tetapi ternyata kamu benar Gus, gadis itu
adalah sebuah kutukan. Hingga hari ini genap sudah dua tahun aku selalu
“terpaksa” naik bus itu, padahal kamu tahu persis kantor redaksi
majalahku bagaikan langit dan bumi dengan arah bus itu. Ada obsesi yang
selalu memaksaku untuk melirik kursi dekat jendela sebelah kiri baris
kedua dari depan itu. Ada berjuta kebahagiaan aneh-mengendalikan yang
datang meski sebatas hanya memandang sekilas wajahnya yang begitu…. Ada
sebuah ekstase di sana…..
Dan ternyata aku tak mampu melakukannya lebih dari itu, hingga hari ini, meskipun sekadar untuk berkata,
0 komentar:
Posting Komentar