Hari ini aku menjauhkan diri dari bisingnya lalu lalang orang-orang. Diriku melangkah ke tempat dimana tak ada seorangpun kecuali diriku, Karen disanalah tempat orang tinggal dengan kebahagiaannya dan kedamaiannya.
Diriku duduk
ditempat itu. Ku lihat dan ku bayangkan desaku disana. Betapa kacaunya
sekarang. Rumah-rumah berdiri megah, tinggi, menjulang langit.
Jalan-jalan yang tiada henti dilewati sumber-sumber kesombongan manusia.
“zaman modern…” teriakku.
Diriku duduk
sambil membayangkan kerja manusia dikejauhan sana. Dan diriku menemukan
mereka dalam keribetan dan ketegangan jiwa.
“demi uang…” teriak mereka.
“demi hidup…” teriak yang lain.
Didalam batinku
aku berusaha melupakan apa yang menimpa mereka, dan diriku memalingkan
mataku kearah kampung kedamaian. Disana yang ku dapati cuma onggokan
tanah, batu nisan yang dikelilingi pohon-pohon dan bunga kamboja. Lantas
diriku merenung.
Desaku telah menjadi kota.
Indah dalam pandangan mata.
Semua ada dan tersedia.
Bahagia bagi sebagian mereka.
Desaku telah jadi kota kehidupan
Disana terjadi kesibukan
Kelelahan yang tiada penghabisan
Sesuatu yang takkan ada penyelesaian
Sedang disini kota kematian
Yang kutemukan cuma ketenangan
Diam dalam kebisuan dan keheningan
Terus… apa yang mereka banggakan?
Dikota kehidupan yang kudapati :
Harapan & keputus asaan
Rasa sayang & benci
Kemiskinan & kekayaan
Kepercayaan & kemunafikan
Sedang dikota kematian ku
dapati…? Entah… aku tiada tahu… yang tahu cuma Tuhan-ku… Karena kematian
belum menjemputku, tapi suatu saat, pasti aku akan singgah di kota
kematian. Disanalah kelak kota abadi yang kutemukan.
Lamunanku berhenti…
Tiba-tiba mataku
melihat kedatangan iring-iringan orang, di belakang sebuah peti mati
yang dibawa sebuah mobil. Peti mati yang mahal, terbuat dari kayu dan
besi yang dibuat sedemikian rupa… Peti mati penuh ukiran karya pengukir
yang hebat. Peti mati orang kaya dan berkuasa. Pengiringnya sangat
banyak, dari berbagai macam lapisan masyarakat…
Yang mati orang
terkenal, terpandang dan terhormat. Suasana haru, senyap penuh derai air
mata. Sesegukan tangis.. Ketika peti mati di turunkan pemandangan orang
berpakaian hitam, berbelasungkawa, penuh duka cita. Dipimpin oleh
seorang yang alim. Orang-orang berdo’a dengan nada-nada yang indah.
Benar-benar upacara kematian yang megah. Sesaat kemudian orang-orang
menyingkir, Nampak sebuah batu nisan pualam karya pemahat dan tukang
batu yang tersohor keindahannya. Disekelilingnya ditaruh bunga yang
disusun terampil oleh tangan-tangan ahli. Setelah upacara penguburan
selesai, kemudian iring-iringan itu pergi meninggalkan pemakaman. Suara
hening lagi.
Aku kembali merenungkan apa yang baru saja aku lihat.
“manusia dengan rumah yang indah. Didunia ia punya rumah mewah… sedang dialam kematian ia punya rumah yang megah” gumamku pelan.
Ketika aku akan beranjak
meninggalkan tempat itu, mataku kembali dikejutkan oleh kedatangan empat
pria yang memikul keranda. Dibelakangnya nampak seorang perempuan
dengan pakaian lusuh. Mengikuti seraya menggendong anaknya yang menetek.
Nampak seorang
anak perempuan yang tak lain adalah juga anak ibu itu, tak
henti-hentinya ia menangis. Sambil memegangi tangan ibunya. Cuma itu,
hanya itulah iring-iringan penguburan. Seorang pria miskin, seorang pria
hina ditempat itu.
Seorang istri
mencurahkan air mata kepedihannya dan bayi yang menangis, karena tangis
ibundanya. Serta anak perempuan yang menangis kehilangan ayahnya dalam
kepedihan dan kepiluan. Keempat orang itu lalu memasukkan mayat itu ke
liang lahat. Mayat malang itu ditimbun tanah tanpa penghalang apapun.
Penguburan itu akhirnya selesai, dan berakhir dengan sebuah gundukan
tanah. Tanpa batu nisan, tanpa bunga. Kemudian mereka pulang dalam
kebisuan. Sedang anak perempuan bermata sembab itu berkali-kali menoleh
kebelakang. Seakan-akan ia tak rela ayahnya pergi. Matanya masih basah,
menatap tempat peristirahatan terakhir ayahnya.
“kemana aku harus pulang…?” pikirku tentangnya.
Setelah itu mereka hilang dibalik pohon-pohon. Aku tiada dapat menahan air mataku.
“mereka pasti tidak punya rumah…” lalu aku menatap kota kehidupan.
“itu sebab sikaya dan berkuasa…” dan kearah kematian, akupun berkata,
“itupun karna sikaya dan berkuasa…”
“lantas dimana ya… illahi.. ya Allah… rumah si miskin tanpa daya itu…?”
Setelah berkata
itu, aku berjalan pelan meninggalkan kampung kedamaian itu. Kutatap
langit biru yang cerah, kutanya semilir angin. Kurasakan harumnya
semerbak bunga, kulihat pohon-pohon… Semua diam…
`Dan sebuah suara di dalam diriku berkata
“nun jauh disana…”
Salatiga 07-11-2011
Thanks to = kahlil Gibran, jallaludin ar rumi untuk advice dan kosakata indahnya
“cerita ini cuma nasehat, untukku
dan siapapun. aku tahu dunia ini cuma kesenangan yang menipu. hidup
bahagia cuma diakhirat… let’s make happiness in the world and heaven..
with me together forever…”
Semoga bermanfaat…
Baca Juga
0 komentar:
Posting Komentar