Penulis : Marsya Sinarani
“Nduk itu ada undangan nikah dari Nurul.”
Annisa memandang tertegun secarik
undangan yang tergeletak begitu saja di meja ruang tamu. Sementara
ibunya sedang asyik menjahit, merampungkan pesanan para pelanggannya.
“Nurul tadi yang kesini bu?” Tanya Nisa sambil mengambil undangan tersebut.
Ibunya hanya mengangguk.
Nisa buru-buru membuka undangan tersebut.
Nurul adalah sahabat dekat Nisa sejak mereka masih kecil. Rumah mereka hanya terpisah lima rumah. Sejak di bangku TK, mereka selalu bermain bersama. Sekolah pun di tempat yang sama dari TK sampai SMA. Ketika di perguruan tinggi mereka mengambil universitas dan jurusan yang berbeda. Nurul mengambil jurusan Pendidikan Agama Islam di Universitas di Yogyakarta sementara Nisa mengambil Jurusan PGSD di Solo.
Nisa sama sekali tidak menyangka kalau Nurul akan secepat ini menikah. Memang belum lama ini Nurul sering curhat dengannya kalau ada seorang ikhwan yang mengajaknya melakukan taaruf.
Berkali-kali Nurul menyatakan keraguannya kepada Nisa. Berkali-kali pula Nisa memberi dorongan serta dukungan kepada Nurul.
“Nurul bukannya cita-cita kamu untuk menikah muda?”
Di seberang diam.
“Lalu apa yang membuat kamu ragu Nurul? Kamu sudah lulus dan tinggal menunggu wisuda..”
Nurul masih diam. Nisa menunggu.
“Kamu juga ingin nikah muda kan Nis?” ucap Nurul tiba-tiba yang membuat hati Nisa membeku.
Nurul
masih mengingat harapan dan cita-cita Nisa yang pernah mereka obrolkan
dulu. Nisa akui memang dirinya mendambakan menikah muda dengan seorang
pria yang sholeh, menyayanginya karena Allah SWT dan menjadi Imam yang
baik dalam rumah tangganya.
Namun,
semakin Nisa berharap Nisa merasa cita-citanya tersebut makin menjauh.
Sekarang usia Nisa sudah menginjak 23 tahun. Nisa pun sudah tamat kuliah
sekarang sedang magang di SD di daerahnya. Jangankan tanda-anda akan menikah, sampai saat ini tidak ada satu pun pemuda yang mendekatinya.
“Nisa
kamu itu cantik, baik, Sholehah. Pasti nanti kamu akan cepat dapat
jodoh yang baik,” begitu selalu Nurul menguatkan hati Nisa, setiap Nisa
mengutarakan kekhawatirannya yang belum juga dapat jodoh.
Nisa mengakui kecantikannya dan sedikit berbangga karenanya. Dari SMP sampai SMA karena kecantikan Nisa, banyak
teman-teman cowoknya yang ngefans dan berusaha mendekati Nisa. Namun,
Nisa merasa tidak cocok dan tidak suka dengan semua cowok yang
mendekatinya. Karena menurut Nisa dengan sombongnya berpikir mereka semua tidak layak dan tidak level untuk menjadi cowoknya.
Tak jarang dengan ketus Nisa menolak mereka mentah-mentah, dari menyobek surat yang dikirim untuknya, membuang hadiah yang ditemukannya di laci ke tempat sampah sampai menolak dengan kasar cowok yang mengajaknya makan bareng.
Namun, itu dulu. Semenjak Nisa kuliah, dia mulai berubah.
Sekarang Nisa sudah menjadi akhwat yang mengenakan jilbab. Jilbab yang
dikenakan Nisa pun lumayan lebar. Perubahan inilah yang membuat Nisa
ingin menikah secepatnya. Menjalankan sunah Rasulullah.
“Aku iri Nis ma kamu. Jika dipikir secara
logika pasti kamu yang akan nikah duluan,” ucap Nurul pada saat mereka
curhat sama-sama mengutarakan keinginan mereka untuk menikah muda.
Nisa tersenyum, menyimpan rasa bangga dalam
hatinya. Nisa berpikir pasti dia akan menikah dulu dibandingkan dengan
Nurul yang wajahnya biasa saja, pemalu dan tidak pandai bergaul.
Tanpa
mereka sadari ternyata keinginan mereka untuk menikah muda menjadi
semacam persaingan tidak tertulis diantara mereka. Terutama bagi Nisa
yang ingin sekali bisa menikah dulu dibanding Nurul.
Nisa tersadar dari lamunannya ketika suara diseberang memanggilnya.
“Kok diam Nis. Aku salah ngomong ya,” Nurul terdengar merasa bersalah.
Nisa menggeleng.
“Eh,
emhh nggak papa kok Nurul. Kamu masih ingat saja obrolan kita dulu. Itu
kan dulu Nurul. Sekarng kita sudah matang sudah tahu kapan saatnya kita
siap untuk menikah.” Jawab Nisa. Walaupun dalam hatinya, Nisa merasa
sakit.
Nurul hanya menangguk, hatinya yang tadi gundah sekarang menjadi lebih tenang.
“Jadi kamu mendukung aku untuk taaruf kan Nis?” Tanya Nurul tiba-tiba.
“Tentu saja Nurul, kamu sahabatku. Apapun yang baik untuk kamu, aku akan mendukungmu seratus persen,” ucap Nisa mantap.
*
“Ibu nggak nyangka Nurul akan secepat ini menikah,” suara ibu Nisa mengagetkan Nisa.
Nisa hanya bisa mengangguk. Ternyata jawaban dari taaruf itu adalah Undangan pernikahan yang sekarang berada di tangan Nisa.
“Kamu kapan Nis, nyusul sahabatmu itu?” Tanya ibu Nisa tiba-tiba yang membuat hati Nisa menjadi semakin tertohok.
Belum habis kesedihan Nisa menghadapi kenyataan yang menyakitkan ini, dengan terang-terangan
ibu Nisa menuntutnya unuk segera menikah walaupun dengan bahasa yang
lembut, sudah cukup menancapkan luka di hati Nisa.
Nisa hanya diam, tanpa terasa sebutir air mata jatuh di pipi Nisa.
Kapan?
Kapan aku akan membina rumah tangga sementara seorang pria pun tidak
pernah mendekatiku apalagi mengajak aku melakukan taaruf. Teriak hati
Nisa.
Tiba-tiba
Nisa merasa dunia menjadi tidak adil untuknya. Apa yang kurang dari
dirinya. Padahal setiap selesai shalat Nisa selalu berdoa, meminta
kepada Allah untuk diberikan jodoh yang terbaik untuknya. Namun, sampai
saat ini tidak ada tanda-tanda doanya akan terkabul.
Tiba-tiba
Nisa menjadi orang yang paling malang di dunia. Apakah Allah tidak
ridho dengan do’anya apakah ini karma bagi Nisa yang dulu selalu berkata
kasar kepada cowok-cowok yang mendekatinya sewaktu SMP dan SMA.
Banyak
pikiran Nisa yang berkecamuk di otaknya. Membuat dada Nisa menjadi
semakin sesak. Tiba-tiba Nisa teringat perkataan guru ngajinya kemarin
ketika Nisa curhat tentang keiginannya menikah yang tidak kunjung terjadi.
“Nis, Allah itu sesuai dengan persangkaan hambanya.”
Nisa buru-buru mengucap istigfar sebanyak-banyaknya, dan membuang segala pikiran buruknya tentang Allah.
Nisa buru-buru mengambil air wudhu untuk mengerjakan shalat Dhuhur dan meminta maaf pada Allah serta tidak lupa berdoa meminta kepada Allah tentang yang selama ini selalu diminta oleh Nisa dalam doa khusuknya.
*
Nurul
nampak cantik sekali mengenakan baju pengantin muslimah berwarna hijau
muda bersanding dengan mempelai pria yang juga tampan. Mereka memang
layak menjadi raja dan ratu sehari. Nisa menyalami Nurul dan memeluk sahabatnya itu dengan hangat.
“Selamat ya Nurul. Aku ikut berbahagia.”
Nurul memeluk Nisa dengan erat.
“Makasih ya Nisa. Kamu pasti nanti akan merasakan hal ini juga,” ucap Nurul mantap.
“Amin,” ucap Nisa sambil menguatkan hatinya.
Nisa memberikan ucapan selamat kepada suami baru Nurul.
Nurul
menceritakan kepadanya kalau seorang pria yang mengajaknya taaruf
adalah anak kenalan orang tuanya yang sudah bekerja menjadi PNS di
Departemen Agama. Sungguh beruntung sekali nasib Nurul.
*
Dua bulan kemudian
Kesibukan
Nisa mengajar, lambat laun mengobati luka hatinya akan keinginannya
untuk menikah muda. Walaupun Nisa terkadang masih mengingatnya, tapi tidak sesakit dulu.
Karena sekarang Nisa sudah memasrahkan semuanya kepada Allah SWT dan
Nisa juga telah menanamkan prasangka baik dalam hatinya bahwa kelak
pasti Allah SWT akan memberikan jodoh yang terbaik buatnya. Jika tidak
sekarang atau dalam waktu dekat ini, pasti nanti Allah akan
mempertemukannya dengan jodohnya itu.
HP Nisa bergetar. Untung Nisa sedang tidak mengajar. Nisa langsung keluar dari kantor untuk menerima telpon tersebut.
“Assalamualaikum Nisa,” sapa suara di seberang.
“Walaikumsalam. Ini siapa ya?” Tanya Nisa.
“Ini Nurul, Nis. Masak lupa dengan suaraku.”
“Ya ampun pengantin baru tho. Bagaimana dengan kehidupan baru kalian?” Tanya Nisa antusias.
Nurul hanya tersenyum.
“Alhamdulilah menyenangkan. Mas Rizal orangnya sangat penyanyang. Tiap hari serasa bulan madu.” ucap Nurul malu-malu.
Nisa menggoda Nurul.
“Oya Nisa ada berita penting yang mesti aku sampaikan padamu,” ucap Nurul yang tiba-tiba berubah menjadi serius.
“Berita apa Nurul?”
Nurul diam, sepertinya sedang menata kalimat yang akan diutarakannya kepada Nisa.
“Kalau ada seseoang yang mengajakmu taaruf apakah kamu mau?” Tanya Nurul to the point yang langsung membuat jantung Nisa mau copot.
“Maksudmu Nurul?”
“Mas Rio temannya mas Rizal di Depag ingin mengajakmu taaruf.”
“Mas Rio siapa?” Tanya Nisa semkain tidak mengerti.
“Mas
Rio melihat kamu di pernikahanku dulu. Mas Rio tertarik pada kamu lalu
dia banyak bertanya kepadaku tentang kamu. Aku pun banyak bertanya
tentang mas Rio terhadap Mas Rizal. Ternyata mas Rio orangnya sholeh,
baik, mapan , bertanggung jwaba dan aku yakin dia baik untuk kamu.
Makanya aku ma mas Rizal mau menjadi perantara bagi kalian untuk melakukan taaruf. Gimana Nisa?” Tanya Nurul diseberang dengan bersemangat.
Nisa masih diam, masih tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.
Nisa tidak menyangka jawaban Allah terhadap doanya akan datang secepat ini, dikala Nisa tidak terlalu memikirkannya. Sekarang Allah telah memberikannya sebuah kesempatan yang indah, apakah Nisa pantas untuk menyia-nyikannya?
“Gimana Nisa. Kok diam?” Tanya Nurul tidak sabar.
“Iya Nurul, aku mau,” jawab Nisa mantap.
Biarlah Nisa mecoba dulu. Selanjutnya urusan nanti jadi apa tidaknya, Nisa pasrahkan kepada Allah SWT, Maha yang mengetahui yang terbaik bagi hamba-hambanya.
0 komentar:
Posting Komentar