Posted by Blogger Name. Category:
cerpen Islami
Cerpen Ini di tulis Oleh : Nicki R. Alpanchori
Semoga menginspirasi
Kisah kali ini adalah kisah tentang dua saudara yang hidup dalam
keadaan yatim piatu. Kisah ini aku tulis berdasarkan kesadaran yang
menghadirkan pemikiran untuk memulai suatu perubahan.
Terlalu lama sudah aku tenggelam dalam nikmatnya dosa dan keangkuhan
dunia. Buta, Tuli, Bisu, itulah aku. Aku tak melihat betapa singkatnya
dunia ini, aku tak mendengar setiap panggilan yang seharusnya menjadi
nomor satu dalam kehidupan. Dan aku tak menyampaikan setiap apa yang
telah menjadi kewajiban. Kisah yang akan aku ceritakan ini merupakan
pemikiran pagi yang menghadirkan kesadaran atas sombongnya diriku selama
ini. Aku berharap apa yang aku tulis ini bisa bermanfaat untukku
pribadi dalam mewujudkan kesadaran ini melalui perbuatan nyata. Semoga
karya ini juga bisa menjadi pendongkrak hati kita untuk berubah menjadi
manusia yang takut akan siksaNya lalu berharap atas karuniaNya. Amin Yaa
Robbal Alamin…
ABU DAN SAMAR
(Kesadaran Diri)
(Kesadaran Diri)
Jumat pagi dengan langit sedikit mendung, ketika seorang musyafir
bernama Ikhsan hendak melewati sebuah desa kecil. Karena merasa lelah
memutuskan untuk beristirahat sejenak untuk sekedar melepas lapar dan
dahaga yang menyapa. Ketika ia telah berada pada tempat yang teduh,
dibukanya ikatan bekal yang dibawa lalu dikeluarkan sebatang bambu
berisi air serta sebongkah roti yang terbungkus daun pisang layu.
Sebelum menikmati bekal, tidak lupa ia bersyukur atas apa yang ia miliki
saat ini.
Pelan dan perlahan ia kemudian menyantap sepotong demi sepotong roti,
meminum seteguk demi seteguk air sampai ia merasa berbeda. Perut yang
tadi lapar, kenyanglah sudah. Tenggorokan yang tadi kering, basahlah
kini. Ikhsan kembali bersiap melanjutkan perjalanan menuju suatu tujaan
yang sama. Tiba-tiba, pandangan mata yang seharusnya diarahkan ke depan
itu dengan tak sengaja melihat ke arah belakang. Disana ia melihat dua
orang anak bersanding di bawah rindangnya pohon. Satu anak terlihat
merebahkan kepala di saat anak satunya menopang dengan pundaknya. Dengan
hati yang merasa terketuk, Ikhsan merubah langkah menuju kedua anak
tersebut. Ikhsan menghampiri mereka dan tersenyum. “Assalamualaikum”
ucapnya menyapa. “Waalaikumsalam” jawab kedua anak tersebut serentak.
Lalu Ikhsan duduk di sampingnya, masih dengan senyuman Ikhsan pun
bertanya nama.
Abu dan Samar adalah jawaban atas pertanyaan Ikhsan kepada kedua anak
tersebut. Sambil menyodorkan sepotong roti dari bekal yang dibawa,
Ikhsan terus bertanya-tanya kepada Abu dan Samar. Abu dan Samar pun
sembari memakan roti yang diberikan Ikhsan terus memberikan jawaban.
Sampai pada akhirnya Ikhsan merasa terharu karena mengetahui bahwa Abu
dan Samar adalah saudara yang hidup dalam keadaan yatim piatu. Senyum
Ikhsan tak lagi lepas digantikan dengan tetesan airmata di pipinya.
Matahari saat itu mulai mengusir mendungnya pagi, teriknya terasa
panas menyentuh kulit yang kering. Ikhsan hanya bisa terdiam melihat Abu
dan Samar yang dengan lahap menyantap roti pemberiannya. Airmata Ikhsan
semakin tak terbendung ketika Abu dan Samar bercerita tentang
kehidupannya. Ikhsan dengan hati tersentuh hanya diam mendengar kisah
hidup Abu dan Samar, terlebih mereka menceritakannya dengan senyuman di
wajahnya.
“Samar adalah adikku, usiaku tidak jauh berbeda dengan Samar”, ucap
Abu membuka cerita. Umurku 9 tahun dan Samar, adikku berumur 7 tahun.
Kami dari desa seberang. Kami ingin menuju ke suatu desa yang jaraknya
masih jauh dari sini. Entah desa apa yang dimaksudkan oleh Abu, Ikhsan
tidak mengetahuinya dan ia pun tidak bertanya. Kata ibu, di desa itu ada
paman kami sedang menunggu. Aku dan Samar akan kesana menemui paman.
Ibu juga pernah berkata kalau paman akan merawat kami sampai kami merasa
bisa merawat diri sendiri. Abu terlihat cekatan dalam menyampaikan
kenyataan. Abu terus menceritakan perjalanan hidupnya disaat Samar, sang
adik tertidur kenyang di bahu Abu. Cerita Abu semakin membuat Ikhsan
tidak mengerti akan jalur cerita yang disampaikan Abu. Ikhsan yang
semakin bingung memberanikan diri memotong cerita Abu dan bertanya.
“Ibumu dimana, wahai Abu?” tanya Ikhsan dengan nada pelan. “Ibu sudah
meninggalkan kami beberapa bulan yang lalu” jawab Abu dengan kepala
tertunduk. Penyesalan Ikhsan menanyakan hal itu tak membuatnya berhenti
bertanya. “Lalu bagaimana dengan ayahmu wahai Abu?”. “Ayah kami pun
telah meninggal saat usia Samar, adikku masih bayi dan itu sebabnya
Samar tak pernah tau sosok ayah kami” jawab Abu dengan airmata menyertai
jawabannya. Ikhsan terdiam seribu bahasa setelah mendengar jawaban dari
Abu.
Hari semakin kelam, matahari bertambah panas, namun mendung di hati
tetaplah mendung. Apa yang terjadi takkan pernah terulang kembali.
Suasana hening sempat menghiasi percakapan antara Ikhsan dan Abu,
sementara Samar masih tertidur. Lalu suara Adzan berkumandang memecah
keheningan. Mendengar panggilan itu, Ikhsan mengajak serta Abu dan Samar
untuk menuju sumber suara adzan tersebut untuk menunaikan ibadah shalat
jumat yang merupakan kewajiban atas setiap laki-laki muslim. Menjawab
ajakan itu, Abu membangunkan Samar dengan perlahan dan mereka pun
melangkah bersama menuju rumah Allah SWT.
Dalam perjalanan singkat menuju tempat ibadah, Ikhsan tak
henti-hentinya memikirkan nasib kedua anak tersebut. Walau begitu ia
tidak mengutarakan fikirannya itu. Hanya berjalan dengan diam.
Sesampainya di suatu Masjid, Ikhsan, Abu, dan Samar langsung mengambil
air wudlu sebelum mereka duduk di dalam Masjid untuk menantikan saatnya
shalat jumat.
Selepas shalat jumat, mereka tidak langsung beranjak dari mesjid
melainkan berdoa untuk banyaknya harapan yang tersimpan. Sampai mesjid
terlihat sepi, mereka masih disana. Ikhsan yang merasa masih ingin tau
tentang kehidupan Abu dan Samar kemudian membuka bicara. “Wahai Abu dan
Samar yang tegar. Adakah kalian akan tetap menjawab setiap pertanyaan
yang akan aku tanyakan tentang kehidupan kalian?” ucap Ikhsan. Abu dan
Samar hanya mengangguk, dan itu membuat Ikhsan melontarkan banyak
pertanyaan kepada mereka. Semua pertanyaan Ikhsan pun dijawab oleh Abu
dan Samar tanpa meninggalkan satu pertanyaan pun untuk dijawab. Hal yang
membuat Ikhsan sangat terkejut adalah ketika ia menanyakan tentang
orang yang dicari oleh Abu dan Samar. Satu pertanyaan yang menghadirkan
rasa haru, sedih, tangis, yang datang secara bersamaan. Betapa tidak,
ketika Ikhsan menanyakan tentang siapa orang yang dicari oleh Abu dan
Samar, mereka menjawab “kami mencari Muhammad Ikhsan Al-Sabar”. Nama itu
adalah nama lengkap dari dirinya. Hal itulah yang membuat Ikhsan tak
henti-hentinya meneteskan airmata. Ikhsan pun memeluk Abu dan samar
seperti enggan untuk dilepaskannya. Ikhsan yang telah berjalan jauh kini
dipaksa kembali oleh keadaan. Melihat Ikhsan seperti itu, Samar
bertanya dengan kepolosannya. “kenapa menangis?” lalu Ikhsan menjawab
“akulah Muhammad Ikhsan Al-Sabar”, orang yang kalian cari dan akulah
paman kalian. Mengetahui hal itu, Abu dan Samar langsung memeluk Ikhsan
dalam tangis. Meskipun perjalanan Ikhsan harus terhenti, ia tak
menyesali semuanya. Karena ia merasa bahwa pertemuannya dengan Abu dan
Samar merupakan suatu keajaiban.
Awal pertemuan itu menjadi akhir dari pencarian Abu dan Samar akan
orang yang dikatakan ibu mereka. Mereka yakin bahwa Ikhsan lah yang akan
mendidik serta merawatnya hingga mereka besar nanti.
Jika kita renungkan kembali, pertemuan Ikhsan dengan Abu dan Samar
bukanlah suatu kebetulan semata. Semuanya merupakan kehendak Allah SWT.
Besarnya bumi menurut penglihatan mata dan kesaksian hidup kita,
ternyata merupakan sebagian hal yang sangatlah kecil dari ciptaanNya.
Jadi masih bisakah kita menyombongkan harta, tahta, bahkan segala yang
kita miliki di bumi ini? Sementara kita mengetahui bahwa bumi tempat
kita menjalani kehidupan sementara ini merupakan ciptaanNya yang sangat
kecil
Sang Penulis Cerita
Yaa Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang…
Bersama kesadaran hari ini, kami mohon ampunanMu atas kesombongan kami…
Yaa Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang…
Jadikanlah kesadaran ini sebagai pemacu untuk kami berbuat…
Jangan Kau biarkan kesadaran kami ini sebatas kesadaran hati semata agar semuanya tak sia-sia…
Yaa Allah Yang Maha Mengetahui Lagi Maha Mendengar…
Lihatlah kami.. Dengarkan doa kami…
Bukalah hati kami yaa Allah…
Amin Yaa Rabbal Alamin…
Yaa Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang…
Bersama kesadaran hari ini, kami mohon ampunanMu atas kesombongan kami…
Yaa Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang…
Jadikanlah kesadaran ini sebagai pemacu untuk kami berbuat…
Jangan Kau biarkan kesadaran kami ini sebatas kesadaran hati semata agar semuanya tak sia-sia…
Yaa Allah Yang Maha Mengetahui Lagi Maha Mendengar…
Lihatlah kami.. Dengarkan doa kami…
Bukalah hati kami yaa Allah…
Amin Yaa Rabbal Alamin…
0 komentar:
Posting Komentar